Jumat, 27 November 2009

Wong Fei Hung adalah Muslim

Selama ini kita hanya mengenal Wong Fei Hung sebagai jagoan Kung fu dalam film Once Upon A Time in China. Dalam film itu, karakter Wong Fei Hung diperankan oleh aktor terkenal Hong Kong, Jet Li. Namun siapakah sebenarnya Wong Fei Hung?

Wong Fei Hung adalah seorang Ulama, Ahli Pengobatan, dan Ahli Beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China oleh pemerintah China. Namun Pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan Komunis di China.

Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.

Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong). Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.

Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.

Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa memedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih.

Secara rahasia, keluarga Wong terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan pemerintahan Dinasti Ch’in yang korup dan penindas. Dinasti Ch’in ialah Dinasti yang merubuhkan kekuasaan Dinasti Yuan yang memerintah sebelumnya. Dinasti Yuan ini dikenal sebagai satu-satunya Dinasti Kaisar Cina yang anggota keluarganya banyak yang memeluk agama Islam.

Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan Jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang legendaris. Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi. Hung Hei-Kwun adalah seorang pendekar Shaolin yang lolos dari peristiwa pembakaran dan pembantaian oleh pemerintahan Dinasti Ch’in pada 1734.

Hung Hei-Kwun ini adalah pemimpin pemberontakan bersejarah yang hampir mengalahkan dinasti penjajah Ch’in yang datang dari Manchuria (sekarang kita mengenalnya sebagai Korea). Jika saja pemerintah Ch’in tidak meminta bantuan pasukan-pasukan bersenjata bangsa asing (Rusia, Inggris, Jepang), pemberontakan pimpinan Hung Hei-Kwun itu niscaya akan berhasil mengusir pendudukan Dinasti Ch’in.

Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju. Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan Jurus Cakar Macan dan Jurus Sembilan Pukulan Khusus. Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras.

Dalam kehidupan keluarga, Allah banyak mengujinya dengan berbagai cobaan. Seorang anaknya terbunuh dalam suatu insiden perkelahian dengan mafia Canton. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek. Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya.

Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas) yang tidak pernah gentar membela kehormatan mereka. Siapapun dan berapapun jumlah orang yang menindas orang miskin, akan dilawannya dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya.

Mengenai keislaman Wong Fei Hung ini, memang masih diperdebatkan. Tetapi mengenai adanya para tokoh Muslim terkenal di China, memang diakui, seperti Laksamana Cheng Ho dan juga beberapa pejabat tinggi China lainnya yang sebagian dari mereka juga ada yang bukan hanya Muslim, tetapi juga masih punya garis keturunan dari Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.

By : Artikelislami

Rabu, 04 November 2009

Merebut Makna, Belajar Bahasa Kehidupan

DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.

Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.


DENGARKAN laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.

Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.

Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.

Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?

Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.

Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.

Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.


SAYANG, Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan berbahasa.

Penyempitan makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan hanya satu alinea.

Sebuah karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.

Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.

Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.

Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.

 Riris K Toha-Sarumpaet Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm

Hari Pembebasan Kaum Perempuan

KALAU kita menyimak catatan sejarah perjalanan Hari Ibu yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 22 Desember, muncul kesan bahwa semangat perjuangan kaum perempuan tempo dulu ternyata tidak sedangkal semangat yang sering ditampilkan pada peringatan Hari Ibu saat ini seremonial dan bahkan konsumerisme. Dulu, mereka tidak hanya gigih dalam menyuarakan hak-haknya, tetapi juga berani memikul senjata turun ke medan perang untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.

Adalah sejarah yang mencatat bahwa dua bulan setelah Sumpah Pemuda dideklarasikan, persisnya pada tanggal 22 Desember 1928, maka berkumpul sekira 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra untuk menyelenggarakan kongres pertamanya dengan mengambil lokasi di Yogyakarta. Salah satu agenda pokoknya adala menggabungkan organisasi-organisasi perempuan Indonesia dalam sebuah federasi tanpa sama sekali membedakan latar belakang politik, suku, status sosial dan bahkan agama.

Hadirnya organisasi seperti Aisyiah, Wanita Katolik, Putri Indonesia, Jong Java bagian Perempuan, Jong Islamieten Bond bagian Wanita dan Organisasi Wanita Utomo, adalah bukti sejarah bahwa semangat pluralisme (keberbedaan) yang merupakan modal utama untuk membangun persatuan, sesungguhnya telah tumbuh subur di kalangan tokoh wanita sejak dua pertiga abad yang lalu. Tidak keliru kalau momentum yang kini diperingati sebagai Hari Ibu itu hadir sebagai puncak kebangkitan kesadaran kaum perempuan Indonesia dalam rangka menghimpun kekuatan bersama untuk bisa keluar dari berbagai ketertinggalannya.

Jangan lupa, adalah sejarah pula yang mencatat bahwa dari kongres perempuan Indonesia yang pertama itu berhasil dirumuskan beberapa rekomendasi penting dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Tuntutan kaum perempuan kepada pemerintah tentang pemberian beasiswa untuk anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan, penolakan tradisi perkawinan anak perempuan di bawah umur termasuk kawin paksa, sampai tuntutan pemberlakuan syarat-syarat pelaksanaan perceraian yang tidak merugikan hidup kaum perempuan, adalah beberapa rekomendasi penting yang lahir dari kongres perempuan pertama 75 tahun yang lalu.

Yang tidak kalah pentingnya, dari kongresnya yang pertama itu pula lahir kesepakatan untuk mendirikan badan musyawarah bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dengan misi pokoknya untuk menjalin hubungan di antara semua perhimpunan perempuan, termasuk di dalamnya kesepakatan penyelenggaraan kongres perempuan tahunan dalam rangka mengisi dan memelihara kelangsungan perjuangannya. Melalui kongres perempuan pertama itu pulalah berhasil dirumuskan beberapa rekomendasi yang berisi tuntutan penerbitan surat kabar sebagai media untuk meyuarakan hak-hak kaum perempuan sampai kepada tuntutan pemberian bantuan khusus bagi perempuan janda dan anak yatim.

Itu semua menunjukkan bahwa jauh sebelum ada lembaga yang sekarang banyak menyuarakan arti pentingnya kesetaraan dan keadilan gender, bahkan jauh sebelum kemedekaan Indonesia diproklamasikan, kaum perempuan Indonesia ternyata telah memiliki kesadaran mengenai arti pentingnya pendidikan dan kesehatan sebagai modal utama untuk bisa keluar dari berbagai ketertinggalannya. Semua itu juga memberi isyarat kepada kita bahwa gerakan kaum perempuan pada saat itu sesungguhnya tidak kalah majunya dibanding dengan perjuangan kaum perempuan saat ini.

Bahkan jika kita menyimak catatan penting yang dihasilkan oleh kongres perempuan tahun-tahun berikutnya seperti tertuang dalam buku ”Peringatan 30 tahun Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1958”, kita pun akan segera mengetahui bahwa banyak dari isu sentral yang diangkat gerakan perempuan saat ini, sesungguhnya merupakan isu yang pernah diagendakan dalam perjuangan kaum perempuan tempo dulu.

Sebagai gambaran, jika saat ini kita, bahkan komunitas dunia banyak bicara mengenai masalah perdagangan anak dan kaum perempuan, maka jauh sebelumnya kaum perempuan Indonesia pernah mengungkapkannya pada Kongres PPPI tahun 1930 yang ditandai dengan lahirnya kesepakatan untuk membentuk Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A).

Bukan hanya itu, Kongres PPPI tahun 1930 itu juga telah melahirkan rumusan kerja lebih konkret lagi yang antara lain ditandai dengan lahirnya rekomendasi yang meniscayakan arti pentingnya penyelidikan kondisi kesehatan kaum perempuan dan sebab-sebab terjadinya kematian bayi di pedesaan, rekomendasi megenai arti pentingnya kampanye berkait dengan segala akibat buruk yang ditimbulkan dari banyak kasus perkawinan usia dini sampai kepada upaya mempelajari hak pilih bagi kaum perempuan yang sekaligus merupakan wujud kesadaran kaum perempuan waktu itu akan arti pentingnya upaya bisa mengakses kekuasaan sebagai media untuk mewujudkan perjuangannya.

Kalau dirinci, sesungguhnya masih begitu banyak kiprah sekaligus sumbangan pemikiran berarti yang telah diberikan kaum perempuan pada saat itu. Simak cuplikan pidato Soekarno di hadapan peserta kongres pertama kaum perempuan tanggal 22 Desember tahun 1928 waktu itu yang mengisyaratkan besarnya perhatian sekaligus pengakuan tokoh politik terhadap potensi yang dimiliki gerakan kaum perempuan pada saat itu sebagai berikut:

”Berbahagialah kongres kaum ibu; diadakan pada suatu waktu, di mana masih ada sahadja kaum bapak Indonesia jang mengira, bahwa perdjoangan mengedjar keselamatan nasional bisa djuga lekas berhasil zonder sokongannja kaum ibu; oleh karena dari pada kaum bapak masih banyak jang kurang pengetahuan akan harganja sokongan kaum ibu itu; kita tidak sahadja gembira hati akan kongres itu oleh karena kaum bapak belum insyaf akan keharusan kenaikan deradjat kaum ibu,- kita gembira ialah teristimewa djuga oleh karena di kalangan kaum ibu sendiri belum banjak jang mengetahui atau mendjadikan kewajibannja ikut menjeburkan diri di dalam perdjoangan bangsa, dan belum banjak jang berkehendak akan kenaikan deradjat itu.” (Soekarno, Kongres Kaum Ibu, 1928).

Tersirat dalam cuplikan pidato itu adalah sikapnya yang sangat mendorong kebangkitan kaum perempuan dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Bahkan seperti pernah ditulis Gadis Arivia dalam artiakelnya yang berjudul ”Soekarno dan Gerakan Perempuan (2001), Bung Karno punya obsesi yang lebih karena ingin menjadikan gerakan perempuan waktu itu sebagai bagian dari gerakan memperjuangkan kemerdekaan. Itulah pula awal sejarah yang kemudian mengilhami banyak organisasi perempuan setelah itu terlibat secara langsung dalam perjuangan kemerdekaan.

Pada tahun 1930, misalnya, Istri Sedar yang didirikan di Bandung muncul menyatakan diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan. Gagasan dasarnya, tidak bakal ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah, kaum perempuan dari kalangan parpol dan ormas berbasis agama Aisyiah dan Wanita Katolik menjadikan perjuangan kemerdekaan sebagai agenda utamanya. Hal yang sama juga dilakukan pula oleh Wanita Muslimat dari Masyumi.

Lima belas tahun berikutnya, tahun 1945, di Bandung lahir organisasi bernama Lasjkar Wanita Indonesia (Lasjwi) yang dibidani oleh Aruji Kartawinata. Mereka yang tergabung dalam organisasi ini, sebagiannya berani mengangkat senjata, sebagian yang lainnya bertugas membantu prajurit yang luka kalau bukan menyiapkan makanan bagi para prajurit yang sedang bertempur dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.

Begitu luhur dan mulia, bahkan berani, itulah kesan yang muncul kalau kita menyimak sejarah perjuangan kaum perempuan yang awalnya diilhami oleh penyelenggaraan kongres perempuan pertama pada tanggal 22 Desember tiga perempuan abad yang lalu. Itu pula sebabnya, tidak berlebihan jika Hari Ibu yang setiap tahun diperingati bangsa ini, sepatutnya kita selenggarakan tidak hanya dalam bentuk seremoni yang hampa makna, apalagi penuh hura-hura. Sebaliknya, kita jadikan momentum Hari Ibu itu sesuai dengan akar historisnya sebagai hari pembebasan kaum perempuan dari berbagai belenggu yang menindasnya.

Kian maraknya kasus perdagangan anak dan perempuan, masih tinginya angka kematian ibu akibat kehamilan atau melahirkan, masih banyaknya korban kaum perempuan akibat tindakan kekerasan dalam rumah tangga, adalah beberapa saja dari sekian banyak masalah yang harus dijadikan agenda utama perjuangan kaum perempuan Indonesia saat ini dan ke depan. Wilujeng Hari Ibu!***

Minggu, 01 November 2009

Memahami Gejala Fundamentalisme

Fundamentalisme sering mempunyai citra negatif. Peristiwa bunuh diri massal David Koresh dan pengikutnya, yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen "Davidian Branch," pada pertengahan April lalu, hanya memperkuat citra bahwa kaum fundamentalis adalah orang-orang sesat. Di tempat kelahirannya, Amerika Serikat, fundamentalisme punya makna pejoratif seperti fanatik, anti intelektualisme, eksklusif yang sering membentuk cult yang menyimpang dari praktek keagamaan mainstream.

Mempertimbangkan perkembangan historis dan fenomena fundamentalisme Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah "fundamentalisme" untuk menyebut gejala keagamaan semacam di kalangan Muslim. Tapi terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada "fundamentals" (dasar-dasar) agama secara "penuh" dan "literal", bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.

Dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik dasar itu, maka fundamentalisme Islam bukanlah sepenuhnya gejala baru. Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dengan kaum Wahhabiyyah bisa dikatakan sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan luas. Gerakan Wahhabi muncul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam sendiri; tidak disebabkan faktor-faktor luar seperti penetrasi Barat.

Banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer fundamentalisme menggejala jauh lebih kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan di kalangan penganut agama-agama lain. Hal ini tentu saja kontras dengan kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan sekularisasi. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat saintifik-industrial, kepercayaan, komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami kemerosotan.

Teori modernisasi-sekularisasi ini nampaknya semakin kehilangan relevansinya. Harvey Cox misalnya belum lama ini dalam bukunya Religion in the Secular City: Toward a Postmodern Theology (1984) terpaksa "merevisi" teori modernisasi-sekularisasinya seperti yang dikemukakannya dalam The Secular City (1965). Sejauh menyangkut Islam, Ernest Gellner berpendapat, "menyatakan sekularisasi berlaku dalam Islam tidak hanya bisa diperdebatkan. Pandangan seperti itu jelas keliru. Islam sekarang tetap kuat seperti seabad lampau. Bahkan dalam segi-segi tertentu, semakin kuat." (Postmodernism and Religion, 1992).

Mengapa Islam begitu secularization-resistant? Menurut Gellner, hal itu disebabkan watak dasar "High Islam" --sebagai kontras "Folk Islam"-- yang luarbiasa monotheistik, nomokratik, dan pada umumnya sangat berorientasi puritanisme dan skripturalisme. Dalam beberapa dasawarsa terakhir terjadi pergeseran besar dari "Folk Islam" kepada "High Islam". Basis-basis sosial "Folk Islam" sebagian besarnya mengalami erosi, sementara "High Islam" terus semakin kuat. Seperti bisa diduga, "High Islam" menyerukan kepada pengalaman ketat Islam, sebagaimana dipraktekkan di masa-masa awal Islam. Dengan demikian, Gellner menyimpulkan, Islam yang puritan dan skripturalis kelihatannya tidak harus punah dalam kondisi modern. Dunia modern, sebaliknya malah merangsang kebangkitannya.

Dalam segi-segi tertentu orang bisa mempertanyakan keabsahan teori Gellner. Untuk kasus Indonesia, misalnya, pergeseran dari "Folk Islam" kepada "High Islam" dapat diartikan sebagai terjadinya proses "santrinisasi" kaum Muslim. Tetapi penting dicatat, tidak seluruh mereka yang mengalami proses "santrinisasi" ini kemudian menjadi fundamentalis. Bahkan bisa dikatakan, hanya sebagian kecil saja yang bisa dimasukkan ke dalam tipologi fundamentalis; karena itulah mereka disebut sebagai kelompok sempalan belaka. Wajah kaum santri yang ramah dan teduh tetap lebih dominan. Gejala seperti ini agaknya juga dominan di tempat-tempat lain di Dunia Muslim.

Poin ini penting ditegaskan. Pengamat Barat khususnya, sering keliru--apakah sengaja atau tidak--dengan mengidentikkan gejala "kebangkitan" Islam (atau tepatnya intensifikasi keagamaan) di kalangan kaum Muslim sebagai fundamentalisme Islam. Dalam kerangka inilah maka pengamat Barat secara tidak bertanggungjawab menganggap Islam sebagai "ancaman" vis-a-vis Dunia Barat. Pandangan Barat seperti itu jelas tidak hanya naif tetapi juga sangat distortif. Kajian-kajian yang lebih obyektif, adil dan jujur diperlukan berbagai pihak untuk memahami gejala fundamentalisme Islam secara lebih baik.

Diambil dari Jurnal Ulumul Qur'an.

Biaya Pendidikan di Indonesia: Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI

BIAYA pendidikan akademis tidak pernah murah. Yang membuat biaya pendidikan terlihat tinggi karena dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat Indonesia.

Di zaman kolonial Belanda, pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas. Mereka mendirikan hogeschool agar lulusan dapat membantu mission mereka menjajah rakyat Indonesia dengan mudah karena dapat memanfaatkan tenaga inlanders untuk diangkat sebagai pembantu utamanya.

Meski demikian, pemerintah kolonial akhirnya membuat sekolah juga. Pada mulanya, pemerintah kolonial mendirikan sekolah Nederlands Indische Artsen School di Surabaya. Lalu, didirikan School tot Opleiding voor Indische Artsen di Batavia. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta didirikan Algemene Middelbare School (AMS), Middelbare Opleiding School voor Indlandse Amstenaren di Magelang, Middelbare Opleiding School voor Inlandse Bestuur Ambtenaren di Bandung, Middelbare Landbouw School di Bogor dan Ungaran. Juga Veeartsen School di Bogor.

Sekolah-sekolah itu adalah setara dengan jenjang sekolah menengah. Setelah itu, pemerintah kolonial baru mendirikan Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH). Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda.

Pada zaman kolonial (kalau tidak salah ingat), hanya ada seorang pribumi yang menjadi guru besar, yaitu Prof Husein Djajadiningrat, yang kemudian menjabat Direktur Departement Van Onderwijs en Eredienst, disusul kemudian oleh Prof Dr Mr Supomo yang mengajar di RH. Sementara universitasnya baru didirikan setelah Perang Dunia II usai dan pemerintah kolonial mau menjajah kembali Indonesia.



BAGI kaum inlanders atau pribumi, mereka agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah tinggi itu. Bahkan, ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.

Biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun.

Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu banyak rekan sekolah saya masuk ke Ambachtschool atau Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah lulus.

Meski biaya sekolah mahal, bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomis, tetapi mempunyai bakat dan nilai rapor bagus, kepala sekolah dapat mengajukan pembebasan biaya uang sekolah ke Departement O & E. Biasanya, bila pengajuan pembebasan biaya diajukan oleh Direktur MULO atau AMS, Departemen O & E akan mengabulkan, bahkan amat mungkin siswa bersangkutan juga diberi beasiswa untuk hidup.

Dari pengalaman pribadi, orangtua saya berhenghasilan 100 gulden sebulan. Dengan penghasilan itu, hampir mustahil orangtua saya bisa mengirimkan keempat anaknya menikmati pendidikan tinggi. Meski demikian, dengan kerja keras, saya dan semua adik saya dapat menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, saya dan beberapa ratus teman pada tahun awal kemerdekaan, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih miskin, dapat menikmati beasiswa.



PADA tahun 1950, NKRI baru saja menyelesaikan perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Toh Pemerintah NKRI yang masih miskin mampu memprogramkan pendidikan bagi kader bangsanya. Ratusan pemuda Indonesia dibiayai Pemerintah NKRI untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dewasa ini NKRI sudah begitu kaya, mengapa beasiswa bagi para kader bangsa tidak lancar? Padahal NKRI ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan penghasilan rakyatnya amat rendah. Kepada mereka yang rajin dan cerdas, sudah seharusnya pemerintah memberikan beasiswa karena pendidikan akademis memang mahal.

Seyogianya industri atau instansi pemerintah menyerahkan tugas penelitiannya kepada universitas sehingga biaya penelitian yang harus dipikul perguruan tinggi dapat dibantu atau bahkan dipikul industri dan instansi pemerintah. Dengan demikian, biaya bagi mahasiswa dapat dikurangi.

Juga cara perguruan tinggi melakukan pembibitan, jangan langsung diambil dari yang fresh graduate. Lebih-lebih kalau dosen muda itu lulusan perguruan tinggi itu karena akan timbul inbreeding bila mereka tidak disekolahkan ke tingkat lanjutan atau dimagangkan di profesi tertentu. Dosen di perguruan tinggi membutuhkan pengalaman kerja di luar perguruan tinggi, di mana mereka dapat menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai. Maka, di luar negeri banyak profesor yang diambil dari industri atau instansi. Mereka sudah pernah menguji kemampuannya untuk berkompetisi dengan alumni dari perguruan tinggi lain. Setelah diketahui kemampuannya, mereka dipanggil untuk menjadi profesor di perguruan tertentu.

Profesor yang mengajar di universitas seyogianya mampu mengembangkan ilmunya melalui riset yang dilakukan para kandidat doktor yang dibimbingnya. Bila ada profesor yang tidak membimbing doktor, maka risetnya sudah berhenti atau ilmunya tidak berkembang. Mereka yang tidak mampu mempromotori doktor jangan diangkat sebagai profesor, cukup lektor kepala saja. Apakah tugas seorang profesor hanya mengajar dari buku yang ditulis rekannya saja?

Seorang profesor harus mau mengembangkan ilmunya dengan cara mempromotori kandidat doktor bidang ilmunya. Bila tidak demikian, perkembangan perguruan tinggi akan menjadi seperti sekolah menengah atas plus. Pada umumnya, perguruan tinggi mengembangkan ilmu yang dikuasai profesornya, maka biaya untuk belajar di perguruan tinggi selalu mahal. Dari perguruan tinggi inilah timbul inovasi dan kreasi yang selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mempertahankan hidupnya aman dan nyaman.

Perguruan tinggi yang satu akan bersaing dengan perguruan tinggi lainnya, terutama dalam kemajuan ilmu dari hasil risetnya. Mengingat biaya penelitian tidak murah, untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dibutuhkan biaya tidak sedikit. Bila hasil riset dapat langsung diaplikasikan dan dapat dijual ke industri atau instansi terkait, hasil ini secara kumulatif dapat digunakan membiayai riset berikutnya. Jadi, hasil riset dapat menumbuhkan multiplier effect.



BIAYA mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara mana pun tetap tinggi dan penghasilan para profesornya pun amat memadai. Dengan demikian, tidak ada profesor yang bekerja di tempat lain (nyambi), kecuali di bidang pendidikan.

Di luar negeri, bila ada seorang direktur industri atau instansi dipanggil untuk menjabat profesor di salah satu perguruan tinggi, jabatannya akan ditinggalkan. Karena, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih terhormat dan penghasilannya meningkat. Keadaan ini berbeda dengan situasi perguruan tinggi di Indonesia. Bila seorang profesor diminta menjadi direktur salah satu industri atau instansi, jabatan di perguruan tingginya akan ditinggalkan. Karena, penghasilan profesor di perguruan tinggi Indonesia rendah.

Dengan biaya kuliah yang tinggi, perguruan tinggi diharapkan akan menghasilkan riset dan ilmu yang sepadan. Menurut saya, tidak semua pemuda harus kuliah di perguruan tinggi bila kemampuan berpikirnya tidak cukup baik. Lebih baik mereka masuk akademi yang mengajarkan ilmu terapan, profesi dan kompetensi yang amat dibutuhkan oleh masyarakat.

Sebetulnya, yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu dari seseorang yang dapat disumbangkan, bukan suatu gelar yang menempel pada namanya, tetapi tidak dapat dimanfaatkan masyarakat. Janganlah membanggakan diri dengan gelar yang dijualbelikan seperti pernah disinyalir Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Semoga masyarakat tidak silau melihat beberapa gelar yang dipajang di sekitar nama seseorang.

Oleh: Nakoela Soenarta Guru Besar Ilmu Teknik Mesin di FTUI, ISTN, dan FTUP

Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/pddkn/1190238.htm

Selasa, 20 Oktober 2009

Cultural Studies dan Tersingkirnya Estetika


DEWASA ini, banyak orang mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mereka mengabaikan sastra. Dalam mengkaji sastra, mereka tidak seperti kalangan kritikus yang melihat sastra sebagai medium kesenian yang bernilai pada dirinya sendiri. Karena di mata mereka, sastra hanyalah suatu teks budaya atau dokumen sosial yang mengandung -di baliknya atau di luarnya- praktik-praktik penandaan (signifying practices) yang selalu merupakan hubungan kekuasaan yang timpang. Dan, sastra dikaji dengan kepentingan menyingkap bekerjanya kontestasi kuasa dalam setiap praktik penandaan itu.
Dalam membaca sastra, mereka tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul karena kemelimpahan makna dan eksplorasi bentuk, juga ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Karena pembacaan mereka terhadap sastra selalu bersifat "politis", bukan dalam arti kuno seperti dislogankan Lekra, yakni mengabdikan sastra untuk partai atau menjadikan politik sebagai panglima, melainkan dalam arti melihat karya sastra sebagai representasi sosial. Dalam representasi, selalu ada suara dominan dan suara tertekan. Agenda politik di sini berarti melucuti suara dominan dan memberdayakan suara tertekan.
Dalam pandangan mereka, sastra sebagai dokumen sosial bahkan tidak lebih tinggi atau lebih penting dari dokumen sosial lain, semisal praktik hidup sehari-hari (everyday practices) yang ditawarkan oleh budaya massa dan budaya media. Apa yang disebut nilai-nilai keindahan yang menjadikan teks sastra selama ini diletakkan dalam posisi ‘high culture’ ternyata hanyalah suatu konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alamiah. Posisinya yang adiluhung dalam budaya adalah hasil pemaksaan selera dan cita rasa kelas sosial tertentu yang dominan. Mungkin persisnya bukan pemaksaan, melainkan hegemoni. Pemaksaannya tidak berlangsung dengan kekerasan melainkan dengan bujukan dan kesukarelaan, yang ditutup-tutupi atau dilupakan sehingga selera dan cita rasa kelas tertentu itu seolah-olah merupakan nilai universal yang bernama keindahan. Jadi teks sastra sejatinya sama nilainya dengan karya pop, tajuk rencana Kompas, jingle iklan, lirik lagu dangdut atau naskah sinetron Cinta Paulina.
Yang saya maksud "mereka" dalam dua alinea pertama tulisan ini adalah para pendukung cultural studies. Di negeri-negeri utara, cultural studies tak pelak merupakan fenomena penting dan kontroversial dalam dunia akademis, terutama bidang humanities selama kurang lebih tiga dekade terakhir. Bukan saja lantaran ia adalah "gerakan akademis" yang multidisipliner (melibatkan sastra, sejarah, antropologi, dan filsafat sekaligus), melainkan juga melampaui dinding disiplin ilmu, bahkan dinding akademis. Pretensinya bukanlah kajian-kajian yang steril yang selama ini tampak dalam disiplin akademis yang ada, melainkan kajian yang berwatak emansipasi, yakni berpihak kepada yang terpinggirkan dan tak tersuarakan (the subaltern)-baik dari segi kelas sosial, ras, maupun gender-dalam kanon resmi suatu kebudayaan.
Dan karena kanon resmi ditentukan oleh mereka yang borjuis, berkulit putih, dan laki-laki, berpusat-Barat dan berwatak logosentris, maka aksentuasi pemihakan terhadap "yang lain" (the other) dalam cultural studies tercermin dalam kajian yang merayakan difference dan pluralisme, seperti kajian postkolonial, multikultural, juga kajian feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna. Nama-nama luar negeri seperti Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, juga Raymond Williams dan Michel Foucault, serta nama-nama dalam negeri seperti Melani Budianta dan Ariel Heryanto merupakan pendukung, atau setidaknya sering dihubung-hubungkan, dengan cultural studies ini.

Genealogi dan karakteristik

Dalam bahasa kita, sebutan cultural studies mungkin tidak bisa dengan mudah diterjemahkan menjadi "kajian-kajian budaya" karena istilah tersebut mengandung riwayat hidup dan karakteristiknya sendiri yang khas, yang bisa jadi tidak terangkum ketika diterjemahkan. Ada baiknya di sini kita lacak genealoginya dan kita usut karakteristiknya.
Simon During, dalam pengantar buku The Cultural Studies Reader (1993), menunjukkan dua jalur genealogi cultural studies. Jalur pertama adalah mereka yang melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Istilah hegemoni, kita tahu, berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif, melainkan alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis jalur ini adalah Raymond Williams, Marxis dari Inggris, ketika ia mengkritik fenomena terlepasnya "budaya" dari "masyarakat" dan terpisahnya "budaya tinggi" dari "budaya sebagai cara hidup sehari-hari". Cultural studies jenis ini lebih menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni, resistensi terhadap kuasa "dari atas", dan pembelaan terhadap subkultur.
Sedangkan cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari pemikiran poststrukturalisme Perancis, terutama Michel Foucault, menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap kuasa "dari atas" menuju perayaan terhadap kemajemukan satuan-satuan kecil. Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan merata dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa dihadapi dengan semacam micro-politics, yang pernah dirumuskannya sebagai insurrection of the subjugated knowledges (membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan). Pada titik inilah cultural studies tegak berdiri. Kajian-kajian dengan label multikultural, postkolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna, untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan pengetahuan tertekan itu.
Pemetaan dua jalur tersebut tentu saja bersifat menyederhanakan karena dalam praktiknya cultural studies tentu jauh lebih meriah dan beragam. Tetapi paling tidak, melalui riwayat hidup semacam itu, kita bisa meraba-raba apa karakteristik yang menonjol pada cultural studies. Dalam pandangan saya, tiga hal bisa disebut di sini.
Pertama, penolakan terhadap esensialisme dalam kebudayaan. Melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni dengan sendirinya mengakui proses konstruksi sosialnya. Budaya tidak terbentuk secara alamiah, given dan menyatu dengan komunitas tertentu, melainkan selalu dikonstruksikan. Dan dalam proses konstruksi, pertarungan memperebutkan pemaknaan pun terjadi. Contoh kajian yang berhasil menolak esensialisme ini adalah buku Orientalism Edward Said yang dengan meyakinkan menunjukkan bahwa identitas Timur yang eksotis dan irasional ternyata bukanlah esensi melainkan konstruksi dan representasi Barat.
Selain merupakan konstruksi sosial, budaya juga selalu bersifat hibrida. Tidak ada yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh para pelaku kebudayaan itu sebagai respons terhadap kondisi kekiniannya. Dengan demikian, sebutan "Jawa", "Islam" atau "Barat" selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks mereka yang juga kompleks dan majemuk.
Kedua, penghargaan terhadap budaya sehari-hari, terutama budaya pop dan media. Cultural studies tidak sekadar mendekonstruksi kanon dalam budaya dan melumerkan pemisahan antara "budaya tinggi" dan "budaya massa", tetapi juga menyambut dan merayakan budaya massa ini. Mereka menolak pendapat yang melihat budaya massa semata-mata sebagai komoditas kapitalisme yang selalu berdampak homogenisasi, pengulangan, dan penyeragaman. Karena dalam praktiknya, orang menerima dan menggunakan budaya massa tidak dengan sikap pasif, melainkan aktif memaknainya dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Penjual Warung Tegal menonton telenovela Amerika Latin di televisi sekadar untuk selingan sembari melayani pembeli, ibu-ibu rumah tangga menontonnya untuk bahan obrolan di pasar atau di meja makan, dan penyair melihatnya untuk cari inspirasi atau bahan guyon. Penerimaan mereka terhadap budaya massa tidak dengan sendirinya membuat mereka terkooptasi atau teralienasi. Dengan kata lain, konsumen selalu punya kebebasan dalam proses negosiasi untuk memaknai (decoding) citraan budaya massa, dengan cara memiuhkannya dari maksud sang pemilik modal atau menjadikannya sebagai kesenangan belaka.
Sesungguhnya, naiknya pamor budaya sehari-hari di mata cultural studies ini tidak bisa dilepaskan dari semakin mendunianya gaya hidup yang dijajakan media massa yang sekaligus mengubah nilai yang ada di dalamnya. Konsumerisme, misalnya, yang dulunya dikecam karena tidak berangkat dari kebutuhan riil sang konsumen tetapi berdasar kebutuhan yang diciptakan oleh citra media kini justru merupakan simbol dan ekspresi menjadi manusia kontemporer.
Dalam konteks mendunianya budaya media yang ditopang dengan pasar global inilah cultural studies yang semula bertumbuh di dunia akademi Barat kini juga merambah ke seluruh dunia.
Ketiga, kuatnya sikap politis. Cultural studies, baik dari jalur Gramsci maupun Foucault, adalah suatu agenda politik dalam dunia akademi. Perhatian mereka adalah penelanjangan terhadap hubungan kuasa yang timpang dalam kebudayaan, melalui pembacaan terhadap pelbagai dokumen sosial. Dan seperti saya sebutkan di awal tulisan, kalaupun toh mereka mengkaji karya sastra, mereka lebih tertarik pada yang di luar sastra ketimbang sastra itu sendiri, pada konteks ketimbang teks. Lebih peka
Lalu, bagaimana kita menanggapi cultural studies ini? Saya kira, sikap anti esensialisme dan penghargaan kepada praktik budaya sehari-hari yang menjadi ciri cultural studies layaklah dicatat sebagai sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi kita . Setidaknya, kita tidak lagi melihat kebudayaan dengan kaca mata antropologi lama yang memakai dikotomi budaya maju/primitif, atau mematok kebudayaan dalam satu karakter tunggal yang ajek (misalnya, "budaya Jawa adalah harmoni", "Barat berdasar rasio, Timur pakai rasa"). Kita juga dibuat lebih peka dan apresiatif terhadap praktik-praktik penandaan (signifying practices) dari budaya massa yang menyerbu kita setiap hari.
Hanya saja, sikap politik yang kental dalam cultural studies bisa menimbulkan problem tersendiri, terutama bila menyangkut pembacaan mereka terhadap karya sastra. Harus diakui, langkah mereka mendekonstruksi kanon budaya (yang memusat pada kulit putih, borjuis dan laki-laki) menyemaikan karnaval multikulturalisme yang beragam suaranya dan setara posisinya. Meskipun dalam kenyataan hal ini belum sepenuhnya tercapai, tetapi ada pengakuan yang semakin luas bahwa karnaval semacam itu adalah suatu kebajikan. Mereka juga berhasil menempatkan yang bukan kulit putih, bukan laki-laki dan bukan borjuis tidak lagi berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan dan tidak punya suara sendiri. The subaltern kini punya hak dan kemampuan untuk merepresentasikan dirinya sendiri.
Demikianlah, maka di Indonesia, sastra kiri dan sastra peranakan yang selama ini dibungkam dan tidak terangkum dalam kanon resmi sastra Indonesia menjadi penting untuk ditampilkan.
Namun, watak politis ini sering dilantunkan dengan sikap yang kelewat serius dan heroik sehingga mereka mengutamakan PC (political correctness) dalam melihat karya. Apa yang dianggap berharga dalam suatu karya bukanlah kualitas literernya melainkan "kebenaran politik"-nya. Pertimbangannya lebih pada pesan politik ketimbang eksplorasi literer, lebih pada "isi" ketimbang "bentuk", kalau dikotomi "isi-bentuk" masih mau dipakai di sini.
Repotnya, ini bisa menjadi semacam dalih bagi karya sastra yang sebenarnya gagal secara sastra, tetapi karena melantunkan politik (sering secara verbal), memekikkan pemihakan terhadap suara pinggiran atau menampilkan suara kaum pinggiran itu sendiri, ia seakan terselamatkan. Hanya karena suatu karya ditulis oleh buruh, perempuan, gay dan lesbian, atau kulit hitam, maka ia dianggap berharga. Penelitian Melani Budianta tentang sastra pinggiran dua tahun lalu adalah sumber rujukan yang baik bagaimana label "pinggiran" bisa menjadi perlindungan bagi karya sastra yang buruk.
Selain itu, PC juga bisa terjebak menjadi rezim kebenaran baru, meskipun pada mulanya ia membongkar rezim kebenaran yang dominan. Ini bisa terjadi manakala karya sastra dibebani semacam moralitas politik yang didatangkan dari luar sastra. Jadinya orang akan berpikir sekian kali kalau mau menampilkan karya yang mengritik, memparodikan, bermain-main atau menghumorkan the subaltern, karena takut jangan-jangan itu menyinggung mereka. Jangan-jangan tidak "benar secara politik".
Inilah yang menjelaskan kenapa kalangan cultural studies mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mengabaikan sastra. Mereka bersikap demikian karena, disadari atau tidak, mereka tidak peduli pada estetika. Bukankah mereka berpendapat bahwa keindahan dalam karya sastra adalah cita rasa dan selera kelas tertentu yang dianggap sebagai nilai yang "obyektif" dan universal? Dengan kata lain, suatu konstruksi sosial? Tidak heran kalau bagi mereka, sastra hanyalah dokumen sosial yang setara dengan ikon-ikon budaya massa. Tidak aneh dalam menghadapi karya, mereka lebih tertarik pada pesan politiknya ketimbang sastranya.
Bahwa keindahan adalah konstruksi sosial dan tidak melekat begitu saja dalam karya, itu bisa saya terima. Tetapi saya ingin membedakan keindahan (yang tidak lain ternyata hanyalah konsep tentang keindahan) dengan pengalaman estetik. Pengalaman estetik inilah yang sejatinya menyertai kita manakala kita terlibat dalam penciptaan maupun pembacaan karya. Tetapi apa itu pengalaman estetik?

Wacana tubuh

Terry Eagleton, Marxis dari Inggris, pernah menyatakan bahwa estetik pada prinsipnya adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang berbeda dengan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan sesuatu yang inderawi (sensuous) yang konkret, bersifat nisbi, terbatas, sementara dan tak bisa dikendalikan oleh kerangka diskursif. Karena itu, yang berharga di sini adalah momen-momen pengalaman yang tak bisa diulang (einmalig) dan penuh ketakterdugaan. Berbeda dengan wacana konseptual yang dikendalikan oleh gagasan, kebenaran atau tujuan yang bisa dipatok sebelumnya, wacana tubuh mengimplikasikan suatu proses gerak yang bernilai pada dirinya sendiri, tanpa memikirkan telos (tujuan) Kalau boleh mengutip ungkapan Chairil Anwar, wacana tubuh adalah kesiapan untuk: "Terbang/ Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat//--the only possible non-stop flight//Tidak mendapat".
Dengan wacana tubuh semacam inilah kita menghadapi karya sastra. Kesiapan untuk "tidak mendapat" menjadikan kita tidak hanya menerima Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer yang mendedahkan semangat humanisme, melainkan juga cerpen-cerpen "nonsens" Umar Kayam, imaji surealis Sepotong Senja untuk Pacarku dari Seno Gumira Ajidarma, ataupun absurditas dunia Olenka dalam novel Olenka Budi Darma. Kesediaan untuk berurusan dengan yang sensuous membawa kita memasuki puisi imaji Sapardi Djoko Damono dan puisi suasana Goenawan Mohamad, yang bergelut dengan ihwal yang sepele, yang ephemeral, dan tak menawarkan "guna" dalam hidup, dan sama sekali tidak mengandung isi politik dan semangat emansipasi.
Saya menduga, pengalaman estetik inilah yang tersingkir ketika cultural studies mengkaji dan membaca sastra. Mereka tampaknya lebih memilih wacana konseptual dalam arti yang dikemukakan Eagleton, sehingga yang dicari atau dituntut dalam karya adalah gagasan dan keberartian, dalam hal ini isi politik.
Yang perlu diperhatikan, kebanyakan mereka tidak begitu tertarik pada puisi, kecuali puisi sosial politik. Karena dalam puisi, pergulatan dengan momen-momen estetik dioptimalkan. Dalam puisi, kata-kata berpaut erat dengan imaji, rima, alusi dan bunyi yang membuatnya tidak bisa lepas dari kekonkretan pengalaman inderawi. Dalam puisi, kita berhadapan dengan ketakterdugaan, bukan dengan suatu proyek yang terencana. Watak puisi semacam inilah yang menjadikannya tidak akrab dengan cultural studies.
Boleh jadi, mereka menolak disebut mengabaikan estetika. Karena mereka merasa tetap mengamalkan laku estetik, tetapi dengan arti baru, yakni bukan sebagai pengejawantahan wacana tubuh melainkan sebagai ethos atau etika untuk suatu praksis. Pandangan semacam ini setidaknya pernah dilontarkan oleh salah satu pendukung cultural studies, Ian Hunter dalam karyanya Aesthetics and Cultural Studies. Di situ Hunter menegaskan bahwa estetika haruslah dipandang sebagai etika, dalam arti "seperangkat teknik dan praktik yang otonom yang memungkinkan individu melakukan problematisasi pengalamannya secara terus-menerus". Hanya saja, pendirian Hunter yang menyamakan laku estetik dengan laku etik ini mengandung cacat serius. Kalau memang yang ingin ditonjolkan adalah etika untuk suatu praksis, kenapa harus dengan karya seni atau sastra? Apakah ini tidak termasuk apa yang dalam filsafat Anglo-Saxon disebut sebagai category mistake (kesalahan menempatkan kategori)?
Tersingkirnya estetik dalam cultural studies tak pelak menjadikan cultural studies terjerumus pada sikap salah urus terhadap kesusastraan. Mereka memang memecah kebekuan, ketika menyatakan kebudayaan sebagai konstruksi sosial dan ketika mengapresiasi budaya sehari-hari. Tetapi intensi pembebasan yang terlalu bersemangat itu telah memiskinkan bacaan mereka terhadap sastra. Dengan hanya membatasi sastra sebagai dokumen sosial, mereka sesungguhnya melupakan dimensi lain yang jauh lebih penting, yakni sastra sebagai dunia imajinasi dengan segala kesubtilan dan kegilaannya. Padahal itulah sesungguhnya raison d'etre kesusastraan kapan pun, baik di zaman cultural studies hari ini maupun zaman Homeros ribuan tahun yang lalu.

ISLAM YANG TERUS BERUBAH (Islam That Keeps Changing)


Majalah New Statesman edisi September silam (13/09/2004) membuat laporan utama tentang Islam berjudul: “Dapatkah Islam Berubah?” (Can Islam Change?). Pertanyaan yang tampak sederhana ini sebetulnya menyimpan persoalan besar dan menjadi perdebatan hangat di kalangan intelektual dan sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim.
Orang-orang yang berpandangan bahwa Islam tak dapat berubah disebut kaum “esensialis,” mengacu kepada cara pandang mereka dalam melihat agama ini sebagai satu-kesatuan esensial yang tak bisa diubah-ubah. Mereka berpandangan bahwa perubahan dalam Islam dianggap bukan bagian dari Islam.
Sebagian Orientalis seperti Lord Cromer dan para penulis Barat seperti Samuel Huntington dan Daniel Pipes berada dalam kelompok ini.
Orientalis Inggris, Lord Cromer, menganggap bahwa perubahan dalam masyarakat Islam bukanlah bagian dari Islam. Karenanya ia meyakini bahwa upaya reformasi Islam bukanlah sesuatu yang Islamis. “Islam yang telah direformasi,” katanya, “bukan lagi Islam.” (Islam reformed is Islam no longer).
Begitu juga, Huntington dan Pipes menganggap bahwa Islam adalah agama yang stagnan dan tak bisa berubah. Keduanya berargumen bahwa absennya demokrasi di sebagain besar dunia Islam menunjukkan sikap resistensi Islam terhadap perubahan. Secara spesifik Pipes menunjuk doktrin bid’ah (innovation) dalam Islam sebagai konsep kunci untuk menolak perubahan.
Selain Orientalis dan para penulis non-Muslim di atas, cara pandang esensialis terhadap Islam juga dianut kalangan Islamis yang konservatif dan fundamentalistik. Mereka meyakini bahwa Islam tidak bisa dan tidak mungkin diubah.
Tokoh konservatif seperti Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabisme) meyakini bahwa Islam harus tetap dijaga dari upaya-upaya pembaruan, karena pembaruan adalah bid’ah. Yang perlu dilakukan adalah mengembalikan Islam ke zaman Nabi, seperti apa adanya.
Para pemikir Islamis seperti al-Nabhani (pendiri Hizbuttahrir) menganggap bahwa demokrasi adalah sistem bid’ah yang harus ditolak. Sementara Sayyid Qutb (tokoh Ikhwanul Muslimin) menganggap demokrasi sebagai thagut (pengacau) yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Kaum orientalis dan kalangan Islamis, meski keduanya kerap bertentangan dan mungkin juga saling bermusuhan, bertemu dalam cara pandang mereka terhadap Islam. Keduanya menolak pembaruan Islam, karena bagi mereka: “Islam yang telah diperbaharui adalah bukan lagi Islam.”
Sementara itu, orang-orang yang berpandangan bahwa Islam bisa berubah disebut kaum “non-esensialis,” karena menganggap bahwa tak ada sesuatu yang benar-benar esensial dari Islam. Sama seperti agama-agama lain, Islam adalah sebuah produk sejarah yang muncul dan berkembang dalam konteks kesejarahan manusia.
Tak ada ajaran maupun doktrin Islam yang sepenuhnya bertahan. Ia berubah dan menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan keadaan. Sebagai agama universal, salah satu modal dasar Islam untuk menyesuikan diri adalah perubahan. Jika Islam menolak perubahan, maka sesungguhnya ia melawan dan bertentangan dengan kodratnya sendiri sebagai agama universal.
Sebagian besar pembaru Muslim, sejak al-Thahtawi, Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Muhammad Arkoun dan Nurcholish Madjid, adalah orang-orang non-esensialis yang percaya bahwa Islam bisa berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Berbeda dengan Lord Cromer dan kaum Islamis, bagi mereka “Islam reformed is still Islam.”
Sebagian penulis Barat simpatik seperti John L. Esposito, Leonard Binder, dan John Voll, bisa juga dianggap “non-esensialis.” Mereka semua percaya bahwa Islam bisa menerima demokrasi, liberalisme, dan konsep-konsep modern yang datang dari luar Islam.
  Saya lebih sependapat dengan kaum “non-esensialis” itu, ketimbang para orientalis dan kalangan Islamis yang ingin tetap menyaksikan Islam orisinal, stagnan, dan tak peduli dengan perubahan di sekelilingnya. Bagi saya, Islam yang dinamis dan terus berubah lebih menarik ketimbang Islam yang tetap, yang hanya menarik untuk obyek kajian para Antropolog dan Orientalis.

AL-QUR’AN DAN ORIENTALISME (The Qur’an And Orientalism)


Sejak Edward Said melakukan serangan terhadap orientalisme, studi kritis tentang sejarah pembentukan Islam menjadi sebuah anatema (sesuatu yang kurang disukai). Sarjana Muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap Al-Qur’an, atau Hadis, atau sejarah Nabi Muhammad, akan ragu, karena mereka khawatir disamakan dengan para orientalis yang memang memiliki citra sangat buruk di dunia Islam.
Dengan beban psikologis seperti itu, studi kritis terhadap sumber-sumber Islam klasik tak bisa lagi dilakukan secara bebas. Para sarjana Islam yang mencoba melakukan kritik terhadap tradisi Islam klasik merasa perlu terlebih dahulu melakukan “disclaimer” bahwa mereka bukanlah orientalis dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan peradaban Islam, dan bukan karena membela kepentingan Barat atau orientalisme.
Beban psikologis itu tentu amat menganggu, menguras energi dan waktu. Alih-alih memfokuskan diri kepada pokok pembahasan, para sarjana Muslim disibukkan berdebat tentang hal-hal yang sama sekali tidak pokok. Padahal, kalau mereka langsung masuk ke pangkal permasalahan tanpa terlalu mempersoalkan darimana sebuah metode ilmu didapat, maka banyak hal yang bisa dilakukan dengan segera.
Hal itu, tentu saja bukan sama sekali untuk menghilangkan sikap kritis kita terhadap para orientalis atau orientalisme secara umum. Namun, berhenti pada pembahasan orientalisme, seperti yang dilakukan Edward Said, bukanlah pekerjaan yang produktif dan berguna bagi agenda pembaruan dan pencerahan Islam.
Terlalu banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme. Studi mereka tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam. Dengan metodologi dan standar akademi yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum Muslim.
Studi mereka tentang sejarah Al-Qur’an misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Al-Qur’an.
Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum Muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan. Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Al-Qur’an. Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.
Saya kemudian malah jadi bertanya-tanya, betapa banyak data dalam sejarah Al-Qur’an yang disembunyikan ulama konservatif. Atau saya curiga jangan-jangan mereka memang tidak tahu akan wacana yang begitu kompleks dalam literatur sejarah Al-Qur’an. Padahal, pandangan-pandangan yang kerap dituduh sebagai “ciptaan orientalis” sesungguhnya adalah fakta sejarah yang terekam dalam kitab-kitab mu’tabarah (rujukan).
Misalnya, dalam al-Fihrist karya Ibn Nadiem disebutkan bahwa surah Al-Fatihah bukanlah bagian dari Al-Qur’an; dalam Al-Itqan karya Jalaluddin al-Suyuthi disebutkan bahwa surah al-Ahzab semula berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga kini hanya menjadi 73 ayat; dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi disebutkan bahwa ada dua surat yang tidak dimasukkan dalam mushaf Uthmani, yakni surah al-Khul’ dan al-Hafd.
Data-data seperti itu diungkapkan dan didiskusikan secara obyektif oleh para orientalis, dan kita bisa langsung mengecek dan membuktikannya dengan merujuk kitab-kitab yang disebutkan. Akses terhadap kitab-kitab klasik itu kini semakin mudah karena sebagian besar sudah di-tahqiq dan diterbitkan.
Saya kira sudah saatnya kita kembali lagi kepada karya-karya orientalis tentang sejarah Al-Qur’an. Karya-karya itu akan menjadi penuntun yang baik bagi kita untuk mengetahui sejarah Al-Qur’an secara lebih komprehensif lagi.
  Saya berpandangan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya. Edward Said tak pernah memberikan sumbangan apa-apa bagi kajian keislaman. Dia hanya meluapkan kemarahannya kepada apa yang dia sebut sebagai “konspirasi orientalisme” atau “konspirasi Barat.” Tapi, kemarahan dan emosi bukanlah sebuah cara yang baik untuk menilai produk kesarjanaan.

ISLAM DI MATA PARA ILMUAN


Ilmuan barat bicara soal Islam :
Seorang ilmuan dari Italia Kenneth Edward George berkata, “Saya sudah mengkaji dengan sangat teliti agama-agama terdulu dan agama modern dewasa ini. Kesimpulannya adalah bahwa Islam agama langit yang benar. Kitab Suci ini mencakup kebutuhan materi dan immateri bagi manusia. Agama ini membentuk akhlak yang baik dan menjaga rohani agar tetap sehat.”


Profesor Inggris Mountaghmiri Watts berkata :
Apa yang dipaparkan al-Qur’an tentang realitas dan fenomena alam yang sempurna menurut saya adalah di antara kelebihan dan keistimewaan Kitab ini. Yang jelas semua temuan dan ilmu pengatahuan yang didokumentasikan dewasa ini, tidak mampu menandingi al-Qur’an.”


Sejarawan Italia, Brands Johny Burkz mengatakan :
Kesejahteraan dan kepemimpinan menjauh dari umat Islam dikarenakan mereka tidak mau mengikuti petunjuk al-Qur’an dan mengamalkan hukum dan undang-undang di dalamnya. Padahal sebelumnya sejarah telah mencatat bahwa generasi awal Islam meraih kejayaan, kemenangan, dan kebesaran. Musuh-musuh Islam tau rahasia ini, sehingga mereka menyerang dari sisi ini. Ya, kondisi kehidupan umat Islam sekarang ini suram, karena tidak pedulinya umat ini terhadap Kitabnya, bukan karena ada kekurangan dalam al-Qur’an atau Islam secara umum. Yang obyektif adalah tidak benar menganggat sisi negatif dengan menghakimi ajaran Islam yang suci.”


Peneliti Prancis Gul Labum menyeru orang Eropa :
Wahai manusia, kajilah al-Qur’an secara mendalam, sampai kalian menemukan hakekat kebenarannya, karena setiap ilmu pengetahuan dan seni-budaya yang pernah dicapai oleh bangsa Arab, pondasinya adalah al-Qur’an. Hendaknya setiap penduduk dunia, dari beragam warna dan bahasa mau melihat secara obyektif kondisi dunia zaman awal. Mengkaji lembaran-lembaran ilmu pengetahuan dan penemuan sebelum Islam. Maka kalian akan tahu bahwa ilmu pengetahuan dan penemuan tidak pernah sampai pada penduduk bumi kecuali setelah ditemukan dan disebarluaskan oleh kaum muslimin yang mereka eksplorasi dari al-Qur’an. Ia laksana lautan pengetahuan yang mengalir di jutaan anak sungai. Al-Qur’an tetap hidup, dan setiap orang mampu meneguk sejuknya sesuai dengan kesungguhan dan kemampuannya.”


Ahli filsafat dari Prancis, Pranco Mari Pulter, menjelaskan perbedaan antara Injil dan Al Qur’an :
Kami yakin, jika disodorkan al-Qur’an dan Injil kepada seseorang yang tidak beragama, pasti orang tersebut akan memilih yang pertama, karena al-Qur’an mengetengahkan pemikiran yang cocok dengan akal sehat. Boleh jadi tidak ada undang-undang yang lebih detail tentang masalah perceraian, kecuali undang-undang dan hukum yang telah di gariskan al-Qur’an tentang masalah ini.”


Seorang ilmuwan dari Inggris Fard Ghayum, Guru Besar Universitas London mengatakan :
Al-Qur’an adalah kitab mendunia yang memiliki keistimewaan sastra yang tinggi, yang terjemahnya saja tidak bisa mewakili tingginya sastra aslinya. Karena lagunya berirama khusus, keindahannya mengagumkan, dan pengaruhnya yang luar bisa terhadap yang mendengarkan. Banyak kaum nashrani Arab yang terpengaruh gaya bahasa dan sastranya. Begitu juga kaum orientalis, banyak di antara mereka yang menerima al-Qur’an. Ketika dibacakan al-Qur’an, kami orang-orang Nashrani terpengaruh, laksana sihir yang menembus jiwa kami, kami merasakan ungakapnnya yang indah, hukumnya yang orisinil. Keistimewaan seperti ini yang menjadikan seseorang merasa terpuaskan, dan bahwa al-Qur’an tidak mungkin ada yang mampu menandinginya.”


Knett Grigh, Guru Besar Universitas Cambridge memberi kesaksian :
Tidak akan mampu seseorang sepanjang empat belas abad yang lalu, sejak diturunkannya al-Qu’ran sampai sekarang ini, yang mampu membuat seperti ayat al-Qur’an, satu ayat sekalipun. Karena al-Qur’an bukan kitab yang dikhususkan untuk zaman tertentu, bahkan al-Qur’an ini alami yang akan terus berlangusng sepanjang zaman. Meskipun dunia dan kehidupan ini berubah, namun setiap manusia memungkinkan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Mengapa al-Qur’an lebih unggul dan menjadi pedoman hidup manusia sepanjang masa? Karena al-Qur’an mencakup hal-hal yang kecil maupun urusan yang besar. Tidak ada sesuatu yang tidak diatur oleh al-Qur’an. Saya yakin, bahwa al-Qur’an mampu mempengaruhi orang Barat, dengan syarat, al-Qur’an dibacakan dengan bahasa aslinya, karena terjemahnya tidak mampu memberi pengaruh kejiwaan dan rohani, berbeda dengan bacaan aslinya yang menggetarkan jiwa, meluluhkan qalbu.”

MENYADARI DAN MENSYUKURI SEGALA KEKURANGAN PASANGAN KITA

Seusai upacara sebuah pernikahan ayah mempelai wanita memanggil menantu laki-lakinya yang baru saja diresmikan pernikahannya. Ia menyeret sang menantu baru ke pojok ruangan dan mengatakan “Kamu mungkin sangat mencintai anak saya, bukan?” dan si pemuda yang sangat bahagia di hari istimewa tersebut langsung menimpali “Hm, tentu Ayah, saya sangat mencintainya”. Lalu si mertua melanjutkan ,”Dan mungkin kamu berpikir bahwa dialah wanita paling hebat di dunia”. “Yeaaa, dia begitu sempurna dalam segala hal. Saya telah memutuskan yang terbaik untuk diri saya dan untuk dirinya”, sambung si pemuda yang hatinya sangat berbunga-bunga. “Itulah yang kamu rasakan sewaktu baru menikah. Namun setelah beberapa tahun, kamu akan mulai melihat kekurangan-kekurangan anak saya. Saat kamu mulai menyadarinya, saya ingin kamu ingat yang berikut ini, Menantuku : jika dia tidak punya kekurangan-kekurangan itu  maka dia mungkin sudah menikah dengan orang lain yang jauh lebih baik dari dirimu!”, si mertua mengatakan dengan nada sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang.
Moral dari cerita ini adalah bahwa kita perlu bersyukur atas kekurangan-kekurangan pasangan kita, karena jika dari awal mereka tidak memiliki kekurangan-kekurangan itu maka mereka sudah pasti akan menikah dengan orang lain yang jauh lebih baik daripada kita.
Hal ini juga terjadi pada anak-anak kita. Saat mereka memiliki sikap atau perilaku buruk yang tidak kita harapkan sekarang ini maka sadarilah bahwa kita pun memiliki peran atas terbentuknya hal itu pada dirinya. Introspeksi diri dan perbaikan atas sikap kita akan membantunya mengubah sikap atau perilaku buruk tersebut.
Jika artikel ini Anda pikir bisa sangat bermanfaat juga bagi rekan, sahabat atau sanak saudara anda maka tolonglah untuk memberitahukan pada mereka Blog : alviemessi.blogspot.com ini.


Salam hangat penuh cinta untuk para pasangan dan orangtua Indonesia…..!!!!!

Senin, 19 Oktober 2009

MOTIVASI ORANG TUA TERHADAP ANAK-ANAKNYA

Salah motivasi, takutlah yang didapat. “Motivasi”, kata populer dalam mendidik anak-anak - dan juga karyawan. Mulai dari orangtua hingga kepala sekolah, pasti pernah melontarkan kata ajaib ini. “Anak ibu kurang motivasi. Tolong ya dimotivasi di rumah”. Atau “Motivasinya mudah dipengaruhi teman-temannya, jadinya dia sering ikut-ikutan ulah temannya. Tolong diperhatikan ya…”. Pernah mendengar himbauan ini ?
Apakah motivasi itu? Menurut kamus Merriam-Webster’s 11th, motivasi adalah sesuatu (seperti kebutuhan atau keinginan) yang menyebabkan seseorang mau bertindak atau bereaksi. Definisi yang baik, bukan ? Karena baiknya, banyak orang yang menggunakannya namun seringkali kelebihan dosis, sehingga menjadi kurang tepat guna.
Ada seorang anak laki-laki yang bernama Brave – lahir di urutan pertama. Pandangan yang beredar di masyarakat menyatakan bahwa seorang anak laki-laki harus mampu tumbuh menjadi anak pemberani dan bisa melindungi adik-adiknya maupun orangtuanya. Namun pada perkembangan anak ini, terjadi penyimpangan. Si anak tumbuh menjadi anak yang takut suasana gelap dan takut suara guntur.
Sebagai orangtua, penyimpangan ini disikapi dengan pemberian motivasi seperti ini, “Mama aja, dulu waktu masih kecil berani sama gelap. Waktu itu umur mama masih lebih kecil dari kamu loh. Masa kamu sudah SD masih saja takut. Kalau kamu masih bayi, wajar takut sama gelap. Sekarang kan sudah gede. Udah punya adik lagi.”
Atau ”Ayo… dong kak … masa sama guntur aja takut. Kan ada mama disini.” Atau “Ingat loh… nama kakak kan Brave, artinya itu pemberani. Jadi anak yang pemberani dong”.
Motivasi yang diberikan sang Bunda, justru membuat Brave menjadi lebih ciut nyalinya menghadapi suara keras dan gelap. Bahkan rasa takutnya ini merembet menjadi takut bertemu orang lain.
Rasa takut Brave terhadap gelap tentu punya sejarah sebelumnya. Usut punya usut, ternyata ketika Brave masih batita, pernah dikunci di kamar mandi oleh baby sitternya. Pengalaman traumatis ini, yang belum mendapatkan penanganan terbawa hingga sekarang dan diperparah dengan kesalahan memberi motivasi pada Brave. Maksud/niat sang ibu adalah baik yaitu menumbuhkan keberanian dalam diri anaknya namun kurangnya satu langkah dalam pemberian motivasi menyebabkan motivasi tersebut tidak diterima dengan baik oleh bawah sadar si anak. Langkah apakah yang kurang ?


Berikut langkah-langkah pemberian motivasi agar lebih berhasil dan didengar oleh anak.
  1. Pahami dan terima semua perasaan dan pikiran anak.
Rasa takut, rasa malas, rasa tidak aman, rasa cemas, pastilah berawal dari pemikiran yang salah yang tercipta dalam otak anak. Tugas kita pada saat awal ini adalah menggali kesalahan-kesalahan pemikiran dari anak yang menyebabkan ia memiliki rasa takut dan perasaan negatif lainnya. Setelah mendapatkan pemikiran salah yang melatarbelakangi munculnya perasaan itu, maka tugas selanjutnya adalah menerima dan memahami perasaan dan pemikiran tersebut. Kesalahan terbesar orangtua adalah justru menertawakan, mengabaikan dan meremehkan perasaan dan pemikiran anak. Akibatnya, anak menjadi semakin jauh dengan kita, sebagai orangtua dan ia menjadi tidak berani terbuka dan jujur lagi.
Ada juga anak yang tidak termotivasi dalam belajar lebih dikarenakan ia merasa kurang diperhatikan oleh orangtua. Dampaknya ia menjadi malas belajar supaya mendapatkan perhatian walaupun negatif. Dengan dimarahi atau ditemani ketika belajar, anak mendapatkan hal yang diinginkannya yaitu perhatian dan dekat dengan orangtua. Jika hal ini yang terjadi pada diri anak Anda terimalah perasaan kurang diperhatikan tersebut dan mulailah memberikan perhatian pada anak dengan memiliki waktu berdua – diluar jam belajar.
  1. Katakan bahwa kita pernah mengalami perasaan serupa saat kecil (Atau jika tidak pernah, tetap katakan pernah mengalami).
Saat  anak mengetahui bahwa orangtua juga pernah mengalami hal serupa maka ini akan  membantu anak mengerti bahwa perasaannya adalah alami dan wajar. Selain itu, ia juga akan melihat diri kita sebagai seorang manusia yang sama dengan dirinya.
Perasaan sama ini akan semakin membuat figur kita menjadi mudah untuk dijangkau oleh anak. Apabila ada orangtua yang hanya menceritakan kehebatannya di masa kecil dapat dibayangkan kemungkinan apa yang terjadi.
Kemungkinan itu adalah anak  akan merasa rendah diri. Hal ini dikarenakan anak merasa orangtuanya adalah manusia yang super hebat. Sedangkan dirinya adalah manusia kecil yang tidak berdaya. Hal ini tentunya akan menciptakan jurang pemisah  yang semakin lebar antara orangtua dan anak secara tidak sadar. Bahkan ada anak yang merasa bahwa dirinya bukanlah anak dari orangtuanya, hanya karena ia merasa tidak sehebat papa atau mamanya. Atau kemungkinan lain, anak akan berusaha mati-matian menjadi diri orangtuanya ketika kecil (dengan bersikap dan berbicara yang mirip). Pada kasus yang ekstrem, anak akan kesulitan menjadi diri sendiri dan mengenal diri sendiri.
  1. Berikan pemikiran yang benar
Setelah tahu latar belakang pemikirannya yang membawa pada munculnya perasaan yang negatif, tugas kita selanjutnya adalah meluruskannya. Misalnya jika anak merasa takut dengan ujian yang akan dihadapi besok. Cukup katakan “Terkadang rasa takut itu membuat kita menjadi lebih siaga sehingga lebih waspada terhadap apa yang akan dihadapi besok. Jadi rasa takut itu sebenarnya pengingat kita untuk menghadapi suatu tantangan”. Atau “Kadang-kadang mama harus menghadapi dulu tantangannya, kerjakan dulu dan selesaikan dulu, baru akhirnya mama sadar bahwa sebenarnya mama itu pintar juga lo.” “Ujian itu memang rasanya menakutkan tapi kalau kita sudah belajar, istirahat yang cukup, mama rasa pasti kita semua akan berhasil melewati. Kalaupun ternyata masih kurang memuaskan ya tidak masalah nanti pasti akan lebih baik lagi.”
  1. Berikan sugesti bahwa kita percaya pada kemampuan anak.
Pemberian sugesti ini akan membantu anak untuk mempercayai dirinya sendiri. Kadang kala rasa percaya diri timbul ketika ada satu orang yang percaya bahwa kita memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu tantangan. Bagi seorang anak “satu orang” itu adalah kita sebagai orangtuanya, orang terdekatnya. Cukup katakan “Papa  percaya, malam ini kamu akan tidur dengan enak dan besok akan buka mata dengan badan yang segar.” Atau “Mama yakin ujian besok dapat kamu kerjakan dengan teliti dan rapi,  kerjakan saja dan nikmati semuanya, ok!”.


Saya yakin dan percaya bahwa para pembaca sekalian akan mendapatkan hasil yang luar biasa menerapkan hal tersebut di atas karena apa yang saya bagikan ini adalah hal yang mendasar yang kami berikan juga pada para klien-klien Alvie Messi dalam ruang terapi dan konseling kami”. Terima Kasih.

Selasa, 13 Oktober 2009

BAHASA ARAB ADALAH BAHASA ISLAM

Penulis: M. B. AL-FITRO
Muroja’ah: Ustadz Drs. Halim Mahfudz, M.Pd.I, M.Fil

Kemuliaan Bahasa Arab
Tahukah engkau saudariku, keutamaan bahasa arab sangatlah banyak. Sebagaimana perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2, yang artinya,

“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkan.”

Ia berkata, “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab) karena bahasa arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat Yusuf)

Bahasa Penduduk Surga
Suatu saat terjadi percakapan di antara seorang ustadz dan seorang pria.

A: Ustadz, katanya bahasa surga itu bahasa arab ya?
B: Katanya begitu pak… tapi haditsnya dho’if.

Tahukah engkau saudariku, memang banyak kita dengar perkataan bahwa bahasa arab adalah bahasa yang digunakan di surga. Namun ternyata tidak ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang masalah ini sebagaimana dinyatakan Abu Shuhaib al-Karami yang mentahkiq kitab Mukhtashar Hadi al-Arwah karya Ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah. Namun banyak atsar salaf yang menguatkan hal ini (bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab). Wallahu a’lam bi shawab.

‘Afwan Jiddan (??)

Kalimat yang satu ini, rasanya sudah menjadi sebuah perkataan umum yang merebak dimana-mana. Secara kata perkata, memang terlihat benar, karena ‘afwan berarti maafkan aku, sedangkan jiddan artinya sungguh-sungguh/benar-benar.

Tahukah engkau saudariku, ternyata kalimat ‘afwan jiddan tidak dikenal dalam bahasa arab yang benar. Ini sama seperti seseorang yang belajar bahasa Inggris kemudian mengatakan, “My watch is dead”. Secara kata perkata memang benar, namun secara penggunaan bahasa asalnya, kalimat tersebut bukanlah kalimat yang benar.

Kata ‘afwan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sebuah permintaan maaf yang sangat. Jika dirinci, kata ‘afwan mempunyai kalimat lengkap Asta’fika yang artinya aku benar-benar minta maaf kepadamu. Nah, berarti maksud orang yang mengatakan ‘afwan jiddan bahwa ia minta maaf dengan sungguh-sungguh sebenarnya sudah diwakilkan dengan kata ‘afwan itu sendiri. Adapun kata dalam bahasa arab lainnya yang berarti maaf adalah aasif. Dan untuk kata ini (aasif) tidak terkandung makna permintaan maaf dengan sungguh-sungguh.

4 Nama Nabi

Tahukah engkau saudariku? Ternyata hanya ada 4 Nabi kita (yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah) yang memiliki nama dari bangsa Arab murni, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, Shalih, Syu’aib dan Hud. Adapun nama-nama nabi lainnya merupakan nama ‘ajam (asing). Dan secara kaidah bahasa arab, antara nama asli Arab dan nama asing memberikan konsekuensi yang berbeda, yaitu untuk nama asing dalam penggunaannya tidak boleh diberi tanda tanwin. Masih penasaran? Ayo belajar bahasa arab…

Musyawarah Akbar (??)

Kadang aneh terlihat, ketika suatu spanduk dari organisasi Islam kemudian bertuliskan musyawarah akbar. Tahukah engkau saudariku, terdapat kesalahan penerapan kaedah bahasa arab dalam susunan tersebut.

Kata musyawarah (yang berasal dari bahasa arab) merupakan isim muannats (jenis kata feminin). Sedangkan kata akbar merupakan isim mudzakar (jenis kata maskulin). Dalam kaedah bahasa arab, tidak tepat jika memadankan dua kata (yang dinamakan na’at man’ut) dengan kata yang berlainan jenis. Maka yang benar adalah musyawarah kubro. Karena kata kubro merupakan isim muannats. Bingung? Ayo belajar bahasa arab…

Abu dan Ummu

Tahukah engkau saudariku, penggunaan Abu dan Ummu juga dipelajari dalam bahasa arab pada bab ‘Alam (nama). ‘Alam itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah kun-yah. Kun-yah adalah nama yang diawali dengan lafazh Abu dan Ummu, seperti Abu Bakr, Ummu Kultsum dan sebagainya. Biasanya, kata yang digunakan setelah kata Ummu atau Abu adalah nama anak pertama dari sang pemilik nama. Namun, tidak berarti bahwa orang yang belum menikah bahkan anak-anak sekalipun tidak dapat menggunakan nama kun-yah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan nama kun-yah, dalam hadits yang diceritakan oleh Anas radhiallahu ‘anhu,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Umair. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam datang, lalu memanggil: ‘Wahai Abu ‘Umair, apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair kecil.’ Sementara anak itu sedang bermain dengannya.” (HR. Bukhari)

Pentingnya Belajar Bahasa Arab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon)

Tahukah engkau saudariku, dorongan untuk belajar bahasa arab bukan hanya khusus bagi orang-orang di luar negara Arab. Bahkan para salafush sholeh sangat mendorong manusia (bahkan untuk orang Arab itu sendiri) untuk mempelajari bahasa arab.

Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Iqitdha)

‘Umar radhiallahu ‘anhu juga mengingatkan para sahabatnya yang bergaul bersama orang asing untuk tidak melalaikan bahasa arab. Ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Adapun setelah itu, pelajarilah Sunnah dan pelajarilah bahasa arab, i’rablah al-Qur’an karena dia (al-Qur’an) dari Arab.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)

Dari Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.” (Mafatihul Arrobiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)

Dari as-Sya’bi, “Ilmu nahwu adalah bagaikan garam pada makanan, yang mana makanan pasti membutuhknanya.” (Hilyah Tholibul ‘Ilmi, dikutip dari majalah Al-Furqon)