Minggu, 07 Februari 2010

Adopsi Kebijakan BHP Yang Salah Kaprah

Persoalan BHP adalah sebuah persoalan yang sebelumnya sudah menjadi polemik tersendiri di perguruan tinggi. Adanya BHP, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tak lagi menjadi katup penyelamat bagi anak-anak bangsa yang dapat membawa perubahan bagi bangsanya sendiri. Antara pemerintah dengan masyarakat belum ada garis kesepahaman yang sama mengenai pemerataan pendidikan.

Pasalnya, semenjak ada BHMN/BHP di PTN, kini privatisasi pendidikan makin menjadi-jadi. Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan makin liar. Tidak sedikit beberapa PTN-BHP berinvestasi dana melalui penawaran paket emas (golden packet) untuk biaya masuk PT.

Kisaran nominalnya pun tidak kalah dengan PTS, yakni sekitar 100 juta. Padahal kalau kita bandingkan dengan biaya kuliah PTN di Jepang, yang tuition fee-nya berkisar 260 ribu Yen, di Singapura yang tuition fee nya berkisar 9.540-27.350 dollar Singapura atau di Malaysia, Universitas Kebangsaan Malaysia, yang memasang biaya 1.167 ringgit Malaysia hingga 1.500 ringgit Malaysia. Rasanya dengan biaya masuk 100 juta, bukan merupakan biaya yang ideal. Sebab, tingkat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia jauh di bawah negara-negara tersebut.

Studi Banding

Sebagai perbandingan Universitas Harvard misalnya, memiliki dana abadi sekitar $29.2 milyar, MIT memiliki dana abadi lebih dari $8.5 milyar dan Universitas Yale telah berhasil meningkatkan dana abadinya menjadi sebesar $18 milyar. Sementara Universitas Cambridge memiliki endowment fund sekitar £4.1 milyar, sedikit lebih besar dari Universitas Oxford. Dana abadi inilah yang kemudian digulirkan oleh universitas tadi dalam bentuk investasi-investasi yang keuntungannya dipergunakan untuk mendanai berbagai aktifitas riset dan belajar mengajar di perguruan tinggi. Baik itu investasi yang bersentuhan dengan bisnis berbasis inovasi teknologi maupun investasi lainnya. Dan pada akhirnya mampu mengurangi ketergantungan mereka pada dana dari anggaran negara dan pengguna jasa pendidikan tinggi.

Persoalannya jika dihubungkan langsung dengan PT di Indonesia sendiri, adakah dana abadi untuk modal dan fasilitas riset sebelum diprivatisasi? Kalaupun ada, apakah dana abadi tersebut cukup untuk menjadi modal awal penopang aktivitas riset penelitian kampus? Sedangkan kalau dievaluasi pengeluaran dana untuk bidang penalaran/penelitian saja masih tersendat-sendat. Apalagi penyediaan fasilitas riset yang berteknologi dan tepat guna. Kalau di Filipina, alat-alat riset yang mahal didapat dari DOST (dept of science and technology) meskipun itu perguruan tinggi swasta. Terlepas dari modelnya dengan riset bersama atau riset pesenan pemerintah. Sedangkan di Amerika, ada yang dapat DOE (dept of energy) grant dan lain-lain untuk penelitian. Dan di China juga ada semacam itu.

Akhir kata, keberadaan UU BHP perlu dipikirkan kembali. Mengingat perangkat atau modal sosial atau jejaring ekonomi masyarakat kita juga belum siap untuk diberi pendidikan mahal. Jangan sampai kita terlambat dalam mempersiapkan ini semua. Seperti sebuah ungkapan "gagal merencanakan berarti merencanakan gagal", gagal pendidikan berarti gagal menjadikan pendidikan sebagai proyek peradaban untuk Indonesia yang lebih baik di masa depan.