Selasa, 20 Oktober 2009

Cultural Studies dan Tersingkirnya Estetika


DEWASA ini, banyak orang mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mereka mengabaikan sastra. Dalam mengkaji sastra, mereka tidak seperti kalangan kritikus yang melihat sastra sebagai medium kesenian yang bernilai pada dirinya sendiri. Karena di mata mereka, sastra hanyalah suatu teks budaya atau dokumen sosial yang mengandung -di baliknya atau di luarnya- praktik-praktik penandaan (signifying practices) yang selalu merupakan hubungan kekuasaan yang timpang. Dan, sastra dikaji dengan kepentingan menyingkap bekerjanya kontestasi kuasa dalam setiap praktik penandaan itu.
Dalam membaca sastra, mereka tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul karena kemelimpahan makna dan eksplorasi bentuk, juga ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Karena pembacaan mereka terhadap sastra selalu bersifat "politis", bukan dalam arti kuno seperti dislogankan Lekra, yakni mengabdikan sastra untuk partai atau menjadikan politik sebagai panglima, melainkan dalam arti melihat karya sastra sebagai representasi sosial. Dalam representasi, selalu ada suara dominan dan suara tertekan. Agenda politik di sini berarti melucuti suara dominan dan memberdayakan suara tertekan.
Dalam pandangan mereka, sastra sebagai dokumen sosial bahkan tidak lebih tinggi atau lebih penting dari dokumen sosial lain, semisal praktik hidup sehari-hari (everyday practices) yang ditawarkan oleh budaya massa dan budaya media. Apa yang disebut nilai-nilai keindahan yang menjadikan teks sastra selama ini diletakkan dalam posisi ‘high culture’ ternyata hanyalah suatu konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alamiah. Posisinya yang adiluhung dalam budaya adalah hasil pemaksaan selera dan cita rasa kelas sosial tertentu yang dominan. Mungkin persisnya bukan pemaksaan, melainkan hegemoni. Pemaksaannya tidak berlangsung dengan kekerasan melainkan dengan bujukan dan kesukarelaan, yang ditutup-tutupi atau dilupakan sehingga selera dan cita rasa kelas tertentu itu seolah-olah merupakan nilai universal yang bernama keindahan. Jadi teks sastra sejatinya sama nilainya dengan karya pop, tajuk rencana Kompas, jingle iklan, lirik lagu dangdut atau naskah sinetron Cinta Paulina.
Yang saya maksud "mereka" dalam dua alinea pertama tulisan ini adalah para pendukung cultural studies. Di negeri-negeri utara, cultural studies tak pelak merupakan fenomena penting dan kontroversial dalam dunia akademis, terutama bidang humanities selama kurang lebih tiga dekade terakhir. Bukan saja lantaran ia adalah "gerakan akademis" yang multidisipliner (melibatkan sastra, sejarah, antropologi, dan filsafat sekaligus), melainkan juga melampaui dinding disiplin ilmu, bahkan dinding akademis. Pretensinya bukanlah kajian-kajian yang steril yang selama ini tampak dalam disiplin akademis yang ada, melainkan kajian yang berwatak emansipasi, yakni berpihak kepada yang terpinggirkan dan tak tersuarakan (the subaltern)-baik dari segi kelas sosial, ras, maupun gender-dalam kanon resmi suatu kebudayaan.
Dan karena kanon resmi ditentukan oleh mereka yang borjuis, berkulit putih, dan laki-laki, berpusat-Barat dan berwatak logosentris, maka aksentuasi pemihakan terhadap "yang lain" (the other) dalam cultural studies tercermin dalam kajian yang merayakan difference dan pluralisme, seperti kajian postkolonial, multikultural, juga kajian feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna. Nama-nama luar negeri seperti Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, juga Raymond Williams dan Michel Foucault, serta nama-nama dalam negeri seperti Melani Budianta dan Ariel Heryanto merupakan pendukung, atau setidaknya sering dihubung-hubungkan, dengan cultural studies ini.

Genealogi dan karakteristik

Dalam bahasa kita, sebutan cultural studies mungkin tidak bisa dengan mudah diterjemahkan menjadi "kajian-kajian budaya" karena istilah tersebut mengandung riwayat hidup dan karakteristiknya sendiri yang khas, yang bisa jadi tidak terangkum ketika diterjemahkan. Ada baiknya di sini kita lacak genealoginya dan kita usut karakteristiknya.
Simon During, dalam pengantar buku The Cultural Studies Reader (1993), menunjukkan dua jalur genealogi cultural studies. Jalur pertama adalah mereka yang melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Istilah hegemoni, kita tahu, berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif, melainkan alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis jalur ini adalah Raymond Williams, Marxis dari Inggris, ketika ia mengkritik fenomena terlepasnya "budaya" dari "masyarakat" dan terpisahnya "budaya tinggi" dari "budaya sebagai cara hidup sehari-hari". Cultural studies jenis ini lebih menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni, resistensi terhadap kuasa "dari atas", dan pembelaan terhadap subkultur.
Sedangkan cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari pemikiran poststrukturalisme Perancis, terutama Michel Foucault, menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap kuasa "dari atas" menuju perayaan terhadap kemajemukan satuan-satuan kecil. Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan merata dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa dihadapi dengan semacam micro-politics, yang pernah dirumuskannya sebagai insurrection of the subjugated knowledges (membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan). Pada titik inilah cultural studies tegak berdiri. Kajian-kajian dengan label multikultural, postkolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna, untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan pengetahuan tertekan itu.
Pemetaan dua jalur tersebut tentu saja bersifat menyederhanakan karena dalam praktiknya cultural studies tentu jauh lebih meriah dan beragam. Tetapi paling tidak, melalui riwayat hidup semacam itu, kita bisa meraba-raba apa karakteristik yang menonjol pada cultural studies. Dalam pandangan saya, tiga hal bisa disebut di sini.
Pertama, penolakan terhadap esensialisme dalam kebudayaan. Melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni dengan sendirinya mengakui proses konstruksi sosialnya. Budaya tidak terbentuk secara alamiah, given dan menyatu dengan komunitas tertentu, melainkan selalu dikonstruksikan. Dan dalam proses konstruksi, pertarungan memperebutkan pemaknaan pun terjadi. Contoh kajian yang berhasil menolak esensialisme ini adalah buku Orientalism Edward Said yang dengan meyakinkan menunjukkan bahwa identitas Timur yang eksotis dan irasional ternyata bukanlah esensi melainkan konstruksi dan representasi Barat.
Selain merupakan konstruksi sosial, budaya juga selalu bersifat hibrida. Tidak ada yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh para pelaku kebudayaan itu sebagai respons terhadap kondisi kekiniannya. Dengan demikian, sebutan "Jawa", "Islam" atau "Barat" selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks mereka yang juga kompleks dan majemuk.
Kedua, penghargaan terhadap budaya sehari-hari, terutama budaya pop dan media. Cultural studies tidak sekadar mendekonstruksi kanon dalam budaya dan melumerkan pemisahan antara "budaya tinggi" dan "budaya massa", tetapi juga menyambut dan merayakan budaya massa ini. Mereka menolak pendapat yang melihat budaya massa semata-mata sebagai komoditas kapitalisme yang selalu berdampak homogenisasi, pengulangan, dan penyeragaman. Karena dalam praktiknya, orang menerima dan menggunakan budaya massa tidak dengan sikap pasif, melainkan aktif memaknainya dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Penjual Warung Tegal menonton telenovela Amerika Latin di televisi sekadar untuk selingan sembari melayani pembeli, ibu-ibu rumah tangga menontonnya untuk bahan obrolan di pasar atau di meja makan, dan penyair melihatnya untuk cari inspirasi atau bahan guyon. Penerimaan mereka terhadap budaya massa tidak dengan sendirinya membuat mereka terkooptasi atau teralienasi. Dengan kata lain, konsumen selalu punya kebebasan dalam proses negosiasi untuk memaknai (decoding) citraan budaya massa, dengan cara memiuhkannya dari maksud sang pemilik modal atau menjadikannya sebagai kesenangan belaka.
Sesungguhnya, naiknya pamor budaya sehari-hari di mata cultural studies ini tidak bisa dilepaskan dari semakin mendunianya gaya hidup yang dijajakan media massa yang sekaligus mengubah nilai yang ada di dalamnya. Konsumerisme, misalnya, yang dulunya dikecam karena tidak berangkat dari kebutuhan riil sang konsumen tetapi berdasar kebutuhan yang diciptakan oleh citra media kini justru merupakan simbol dan ekspresi menjadi manusia kontemporer.
Dalam konteks mendunianya budaya media yang ditopang dengan pasar global inilah cultural studies yang semula bertumbuh di dunia akademi Barat kini juga merambah ke seluruh dunia.
Ketiga, kuatnya sikap politis. Cultural studies, baik dari jalur Gramsci maupun Foucault, adalah suatu agenda politik dalam dunia akademi. Perhatian mereka adalah penelanjangan terhadap hubungan kuasa yang timpang dalam kebudayaan, melalui pembacaan terhadap pelbagai dokumen sosial. Dan seperti saya sebutkan di awal tulisan, kalaupun toh mereka mengkaji karya sastra, mereka lebih tertarik pada yang di luar sastra ketimbang sastra itu sendiri, pada konteks ketimbang teks. Lebih peka
Lalu, bagaimana kita menanggapi cultural studies ini? Saya kira, sikap anti esensialisme dan penghargaan kepada praktik budaya sehari-hari yang menjadi ciri cultural studies layaklah dicatat sebagai sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi kita . Setidaknya, kita tidak lagi melihat kebudayaan dengan kaca mata antropologi lama yang memakai dikotomi budaya maju/primitif, atau mematok kebudayaan dalam satu karakter tunggal yang ajek (misalnya, "budaya Jawa adalah harmoni", "Barat berdasar rasio, Timur pakai rasa"). Kita juga dibuat lebih peka dan apresiatif terhadap praktik-praktik penandaan (signifying practices) dari budaya massa yang menyerbu kita setiap hari.
Hanya saja, sikap politik yang kental dalam cultural studies bisa menimbulkan problem tersendiri, terutama bila menyangkut pembacaan mereka terhadap karya sastra. Harus diakui, langkah mereka mendekonstruksi kanon budaya (yang memusat pada kulit putih, borjuis dan laki-laki) menyemaikan karnaval multikulturalisme yang beragam suaranya dan setara posisinya. Meskipun dalam kenyataan hal ini belum sepenuhnya tercapai, tetapi ada pengakuan yang semakin luas bahwa karnaval semacam itu adalah suatu kebajikan. Mereka juga berhasil menempatkan yang bukan kulit putih, bukan laki-laki dan bukan borjuis tidak lagi berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan dan tidak punya suara sendiri. The subaltern kini punya hak dan kemampuan untuk merepresentasikan dirinya sendiri.
Demikianlah, maka di Indonesia, sastra kiri dan sastra peranakan yang selama ini dibungkam dan tidak terangkum dalam kanon resmi sastra Indonesia menjadi penting untuk ditampilkan.
Namun, watak politis ini sering dilantunkan dengan sikap yang kelewat serius dan heroik sehingga mereka mengutamakan PC (political correctness) dalam melihat karya. Apa yang dianggap berharga dalam suatu karya bukanlah kualitas literernya melainkan "kebenaran politik"-nya. Pertimbangannya lebih pada pesan politik ketimbang eksplorasi literer, lebih pada "isi" ketimbang "bentuk", kalau dikotomi "isi-bentuk" masih mau dipakai di sini.
Repotnya, ini bisa menjadi semacam dalih bagi karya sastra yang sebenarnya gagal secara sastra, tetapi karena melantunkan politik (sering secara verbal), memekikkan pemihakan terhadap suara pinggiran atau menampilkan suara kaum pinggiran itu sendiri, ia seakan terselamatkan. Hanya karena suatu karya ditulis oleh buruh, perempuan, gay dan lesbian, atau kulit hitam, maka ia dianggap berharga. Penelitian Melani Budianta tentang sastra pinggiran dua tahun lalu adalah sumber rujukan yang baik bagaimana label "pinggiran" bisa menjadi perlindungan bagi karya sastra yang buruk.
Selain itu, PC juga bisa terjebak menjadi rezim kebenaran baru, meskipun pada mulanya ia membongkar rezim kebenaran yang dominan. Ini bisa terjadi manakala karya sastra dibebani semacam moralitas politik yang didatangkan dari luar sastra. Jadinya orang akan berpikir sekian kali kalau mau menampilkan karya yang mengritik, memparodikan, bermain-main atau menghumorkan the subaltern, karena takut jangan-jangan itu menyinggung mereka. Jangan-jangan tidak "benar secara politik".
Inilah yang menjelaskan kenapa kalangan cultural studies mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mengabaikan sastra. Mereka bersikap demikian karena, disadari atau tidak, mereka tidak peduli pada estetika. Bukankah mereka berpendapat bahwa keindahan dalam karya sastra adalah cita rasa dan selera kelas tertentu yang dianggap sebagai nilai yang "obyektif" dan universal? Dengan kata lain, suatu konstruksi sosial? Tidak heran kalau bagi mereka, sastra hanyalah dokumen sosial yang setara dengan ikon-ikon budaya massa. Tidak aneh dalam menghadapi karya, mereka lebih tertarik pada pesan politiknya ketimbang sastranya.
Bahwa keindahan adalah konstruksi sosial dan tidak melekat begitu saja dalam karya, itu bisa saya terima. Tetapi saya ingin membedakan keindahan (yang tidak lain ternyata hanyalah konsep tentang keindahan) dengan pengalaman estetik. Pengalaman estetik inilah yang sejatinya menyertai kita manakala kita terlibat dalam penciptaan maupun pembacaan karya. Tetapi apa itu pengalaman estetik?

Wacana tubuh

Terry Eagleton, Marxis dari Inggris, pernah menyatakan bahwa estetik pada prinsipnya adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang berbeda dengan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan sesuatu yang inderawi (sensuous) yang konkret, bersifat nisbi, terbatas, sementara dan tak bisa dikendalikan oleh kerangka diskursif. Karena itu, yang berharga di sini adalah momen-momen pengalaman yang tak bisa diulang (einmalig) dan penuh ketakterdugaan. Berbeda dengan wacana konseptual yang dikendalikan oleh gagasan, kebenaran atau tujuan yang bisa dipatok sebelumnya, wacana tubuh mengimplikasikan suatu proses gerak yang bernilai pada dirinya sendiri, tanpa memikirkan telos (tujuan) Kalau boleh mengutip ungkapan Chairil Anwar, wacana tubuh adalah kesiapan untuk: "Terbang/ Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat//--the only possible non-stop flight//Tidak mendapat".
Dengan wacana tubuh semacam inilah kita menghadapi karya sastra. Kesiapan untuk "tidak mendapat" menjadikan kita tidak hanya menerima Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer yang mendedahkan semangat humanisme, melainkan juga cerpen-cerpen "nonsens" Umar Kayam, imaji surealis Sepotong Senja untuk Pacarku dari Seno Gumira Ajidarma, ataupun absurditas dunia Olenka dalam novel Olenka Budi Darma. Kesediaan untuk berurusan dengan yang sensuous membawa kita memasuki puisi imaji Sapardi Djoko Damono dan puisi suasana Goenawan Mohamad, yang bergelut dengan ihwal yang sepele, yang ephemeral, dan tak menawarkan "guna" dalam hidup, dan sama sekali tidak mengandung isi politik dan semangat emansipasi.
Saya menduga, pengalaman estetik inilah yang tersingkir ketika cultural studies mengkaji dan membaca sastra. Mereka tampaknya lebih memilih wacana konseptual dalam arti yang dikemukakan Eagleton, sehingga yang dicari atau dituntut dalam karya adalah gagasan dan keberartian, dalam hal ini isi politik.
Yang perlu diperhatikan, kebanyakan mereka tidak begitu tertarik pada puisi, kecuali puisi sosial politik. Karena dalam puisi, pergulatan dengan momen-momen estetik dioptimalkan. Dalam puisi, kata-kata berpaut erat dengan imaji, rima, alusi dan bunyi yang membuatnya tidak bisa lepas dari kekonkretan pengalaman inderawi. Dalam puisi, kita berhadapan dengan ketakterdugaan, bukan dengan suatu proyek yang terencana. Watak puisi semacam inilah yang menjadikannya tidak akrab dengan cultural studies.
Boleh jadi, mereka menolak disebut mengabaikan estetika. Karena mereka merasa tetap mengamalkan laku estetik, tetapi dengan arti baru, yakni bukan sebagai pengejawantahan wacana tubuh melainkan sebagai ethos atau etika untuk suatu praksis. Pandangan semacam ini setidaknya pernah dilontarkan oleh salah satu pendukung cultural studies, Ian Hunter dalam karyanya Aesthetics and Cultural Studies. Di situ Hunter menegaskan bahwa estetika haruslah dipandang sebagai etika, dalam arti "seperangkat teknik dan praktik yang otonom yang memungkinkan individu melakukan problematisasi pengalamannya secara terus-menerus". Hanya saja, pendirian Hunter yang menyamakan laku estetik dengan laku etik ini mengandung cacat serius. Kalau memang yang ingin ditonjolkan adalah etika untuk suatu praksis, kenapa harus dengan karya seni atau sastra? Apakah ini tidak termasuk apa yang dalam filsafat Anglo-Saxon disebut sebagai category mistake (kesalahan menempatkan kategori)?
Tersingkirnya estetik dalam cultural studies tak pelak menjadikan cultural studies terjerumus pada sikap salah urus terhadap kesusastraan. Mereka memang memecah kebekuan, ketika menyatakan kebudayaan sebagai konstruksi sosial dan ketika mengapresiasi budaya sehari-hari. Tetapi intensi pembebasan yang terlalu bersemangat itu telah memiskinkan bacaan mereka terhadap sastra. Dengan hanya membatasi sastra sebagai dokumen sosial, mereka sesungguhnya melupakan dimensi lain yang jauh lebih penting, yakni sastra sebagai dunia imajinasi dengan segala kesubtilan dan kegilaannya. Padahal itulah sesungguhnya raison d'etre kesusastraan kapan pun, baik di zaman cultural studies hari ini maupun zaman Homeros ribuan tahun yang lalu.

ISLAM YANG TERUS BERUBAH (Islam That Keeps Changing)


Majalah New Statesman edisi September silam (13/09/2004) membuat laporan utama tentang Islam berjudul: “Dapatkah Islam Berubah?” (Can Islam Change?). Pertanyaan yang tampak sederhana ini sebetulnya menyimpan persoalan besar dan menjadi perdebatan hangat di kalangan intelektual dan sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim.
Orang-orang yang berpandangan bahwa Islam tak dapat berubah disebut kaum “esensialis,” mengacu kepada cara pandang mereka dalam melihat agama ini sebagai satu-kesatuan esensial yang tak bisa diubah-ubah. Mereka berpandangan bahwa perubahan dalam Islam dianggap bukan bagian dari Islam.
Sebagian Orientalis seperti Lord Cromer dan para penulis Barat seperti Samuel Huntington dan Daniel Pipes berada dalam kelompok ini.
Orientalis Inggris, Lord Cromer, menganggap bahwa perubahan dalam masyarakat Islam bukanlah bagian dari Islam. Karenanya ia meyakini bahwa upaya reformasi Islam bukanlah sesuatu yang Islamis. “Islam yang telah direformasi,” katanya, “bukan lagi Islam.” (Islam reformed is Islam no longer).
Begitu juga, Huntington dan Pipes menganggap bahwa Islam adalah agama yang stagnan dan tak bisa berubah. Keduanya berargumen bahwa absennya demokrasi di sebagain besar dunia Islam menunjukkan sikap resistensi Islam terhadap perubahan. Secara spesifik Pipes menunjuk doktrin bid’ah (innovation) dalam Islam sebagai konsep kunci untuk menolak perubahan.
Selain Orientalis dan para penulis non-Muslim di atas, cara pandang esensialis terhadap Islam juga dianut kalangan Islamis yang konservatif dan fundamentalistik. Mereka meyakini bahwa Islam tidak bisa dan tidak mungkin diubah.
Tokoh konservatif seperti Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabisme) meyakini bahwa Islam harus tetap dijaga dari upaya-upaya pembaruan, karena pembaruan adalah bid’ah. Yang perlu dilakukan adalah mengembalikan Islam ke zaman Nabi, seperti apa adanya.
Para pemikir Islamis seperti al-Nabhani (pendiri Hizbuttahrir) menganggap bahwa demokrasi adalah sistem bid’ah yang harus ditolak. Sementara Sayyid Qutb (tokoh Ikhwanul Muslimin) menganggap demokrasi sebagai thagut (pengacau) yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Kaum orientalis dan kalangan Islamis, meski keduanya kerap bertentangan dan mungkin juga saling bermusuhan, bertemu dalam cara pandang mereka terhadap Islam. Keduanya menolak pembaruan Islam, karena bagi mereka: “Islam yang telah diperbaharui adalah bukan lagi Islam.”
Sementara itu, orang-orang yang berpandangan bahwa Islam bisa berubah disebut kaum “non-esensialis,” karena menganggap bahwa tak ada sesuatu yang benar-benar esensial dari Islam. Sama seperti agama-agama lain, Islam adalah sebuah produk sejarah yang muncul dan berkembang dalam konteks kesejarahan manusia.
Tak ada ajaran maupun doktrin Islam yang sepenuhnya bertahan. Ia berubah dan menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan keadaan. Sebagai agama universal, salah satu modal dasar Islam untuk menyesuikan diri adalah perubahan. Jika Islam menolak perubahan, maka sesungguhnya ia melawan dan bertentangan dengan kodratnya sendiri sebagai agama universal.
Sebagian besar pembaru Muslim, sejak al-Thahtawi, Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Muhammad Arkoun dan Nurcholish Madjid, adalah orang-orang non-esensialis yang percaya bahwa Islam bisa berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Berbeda dengan Lord Cromer dan kaum Islamis, bagi mereka “Islam reformed is still Islam.”
Sebagian penulis Barat simpatik seperti John L. Esposito, Leonard Binder, dan John Voll, bisa juga dianggap “non-esensialis.” Mereka semua percaya bahwa Islam bisa menerima demokrasi, liberalisme, dan konsep-konsep modern yang datang dari luar Islam.
  Saya lebih sependapat dengan kaum “non-esensialis” itu, ketimbang para orientalis dan kalangan Islamis yang ingin tetap menyaksikan Islam orisinal, stagnan, dan tak peduli dengan perubahan di sekelilingnya. Bagi saya, Islam yang dinamis dan terus berubah lebih menarik ketimbang Islam yang tetap, yang hanya menarik untuk obyek kajian para Antropolog dan Orientalis.

AL-QUR’AN DAN ORIENTALISME (The Qur’an And Orientalism)


Sejak Edward Said melakukan serangan terhadap orientalisme, studi kritis tentang sejarah pembentukan Islam menjadi sebuah anatema (sesuatu yang kurang disukai). Sarjana Muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap Al-Qur’an, atau Hadis, atau sejarah Nabi Muhammad, akan ragu, karena mereka khawatir disamakan dengan para orientalis yang memang memiliki citra sangat buruk di dunia Islam.
Dengan beban psikologis seperti itu, studi kritis terhadap sumber-sumber Islam klasik tak bisa lagi dilakukan secara bebas. Para sarjana Islam yang mencoba melakukan kritik terhadap tradisi Islam klasik merasa perlu terlebih dahulu melakukan “disclaimer” bahwa mereka bukanlah orientalis dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan peradaban Islam, dan bukan karena membela kepentingan Barat atau orientalisme.
Beban psikologis itu tentu amat menganggu, menguras energi dan waktu. Alih-alih memfokuskan diri kepada pokok pembahasan, para sarjana Muslim disibukkan berdebat tentang hal-hal yang sama sekali tidak pokok. Padahal, kalau mereka langsung masuk ke pangkal permasalahan tanpa terlalu mempersoalkan darimana sebuah metode ilmu didapat, maka banyak hal yang bisa dilakukan dengan segera.
Hal itu, tentu saja bukan sama sekali untuk menghilangkan sikap kritis kita terhadap para orientalis atau orientalisme secara umum. Namun, berhenti pada pembahasan orientalisme, seperti yang dilakukan Edward Said, bukanlah pekerjaan yang produktif dan berguna bagi agenda pembaruan dan pencerahan Islam.
Terlalu banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme. Studi mereka tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam. Dengan metodologi dan standar akademi yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum Muslim.
Studi mereka tentang sejarah Al-Qur’an misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Al-Qur’an.
Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum Muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan. Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Al-Qur’an. Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.
Saya kemudian malah jadi bertanya-tanya, betapa banyak data dalam sejarah Al-Qur’an yang disembunyikan ulama konservatif. Atau saya curiga jangan-jangan mereka memang tidak tahu akan wacana yang begitu kompleks dalam literatur sejarah Al-Qur’an. Padahal, pandangan-pandangan yang kerap dituduh sebagai “ciptaan orientalis” sesungguhnya adalah fakta sejarah yang terekam dalam kitab-kitab mu’tabarah (rujukan).
Misalnya, dalam al-Fihrist karya Ibn Nadiem disebutkan bahwa surah Al-Fatihah bukanlah bagian dari Al-Qur’an; dalam Al-Itqan karya Jalaluddin al-Suyuthi disebutkan bahwa surah al-Ahzab semula berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga kini hanya menjadi 73 ayat; dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi disebutkan bahwa ada dua surat yang tidak dimasukkan dalam mushaf Uthmani, yakni surah al-Khul’ dan al-Hafd.
Data-data seperti itu diungkapkan dan didiskusikan secara obyektif oleh para orientalis, dan kita bisa langsung mengecek dan membuktikannya dengan merujuk kitab-kitab yang disebutkan. Akses terhadap kitab-kitab klasik itu kini semakin mudah karena sebagian besar sudah di-tahqiq dan diterbitkan.
Saya kira sudah saatnya kita kembali lagi kepada karya-karya orientalis tentang sejarah Al-Qur’an. Karya-karya itu akan menjadi penuntun yang baik bagi kita untuk mengetahui sejarah Al-Qur’an secara lebih komprehensif lagi.
  Saya berpandangan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya. Edward Said tak pernah memberikan sumbangan apa-apa bagi kajian keislaman. Dia hanya meluapkan kemarahannya kepada apa yang dia sebut sebagai “konspirasi orientalisme” atau “konspirasi Barat.” Tapi, kemarahan dan emosi bukanlah sebuah cara yang baik untuk menilai produk kesarjanaan.

ISLAM DI MATA PARA ILMUAN


Ilmuan barat bicara soal Islam :
Seorang ilmuan dari Italia Kenneth Edward George berkata, “Saya sudah mengkaji dengan sangat teliti agama-agama terdulu dan agama modern dewasa ini. Kesimpulannya adalah bahwa Islam agama langit yang benar. Kitab Suci ini mencakup kebutuhan materi dan immateri bagi manusia. Agama ini membentuk akhlak yang baik dan menjaga rohani agar tetap sehat.”


Profesor Inggris Mountaghmiri Watts berkata :
Apa yang dipaparkan al-Qur’an tentang realitas dan fenomena alam yang sempurna menurut saya adalah di antara kelebihan dan keistimewaan Kitab ini. Yang jelas semua temuan dan ilmu pengatahuan yang didokumentasikan dewasa ini, tidak mampu menandingi al-Qur’an.”


Sejarawan Italia, Brands Johny Burkz mengatakan :
Kesejahteraan dan kepemimpinan menjauh dari umat Islam dikarenakan mereka tidak mau mengikuti petunjuk al-Qur’an dan mengamalkan hukum dan undang-undang di dalamnya. Padahal sebelumnya sejarah telah mencatat bahwa generasi awal Islam meraih kejayaan, kemenangan, dan kebesaran. Musuh-musuh Islam tau rahasia ini, sehingga mereka menyerang dari sisi ini. Ya, kondisi kehidupan umat Islam sekarang ini suram, karena tidak pedulinya umat ini terhadap Kitabnya, bukan karena ada kekurangan dalam al-Qur’an atau Islam secara umum. Yang obyektif adalah tidak benar menganggat sisi negatif dengan menghakimi ajaran Islam yang suci.”


Peneliti Prancis Gul Labum menyeru orang Eropa :
Wahai manusia, kajilah al-Qur’an secara mendalam, sampai kalian menemukan hakekat kebenarannya, karena setiap ilmu pengetahuan dan seni-budaya yang pernah dicapai oleh bangsa Arab, pondasinya adalah al-Qur’an. Hendaknya setiap penduduk dunia, dari beragam warna dan bahasa mau melihat secara obyektif kondisi dunia zaman awal. Mengkaji lembaran-lembaran ilmu pengetahuan dan penemuan sebelum Islam. Maka kalian akan tahu bahwa ilmu pengetahuan dan penemuan tidak pernah sampai pada penduduk bumi kecuali setelah ditemukan dan disebarluaskan oleh kaum muslimin yang mereka eksplorasi dari al-Qur’an. Ia laksana lautan pengetahuan yang mengalir di jutaan anak sungai. Al-Qur’an tetap hidup, dan setiap orang mampu meneguk sejuknya sesuai dengan kesungguhan dan kemampuannya.”


Ahli filsafat dari Prancis, Pranco Mari Pulter, menjelaskan perbedaan antara Injil dan Al Qur’an :
Kami yakin, jika disodorkan al-Qur’an dan Injil kepada seseorang yang tidak beragama, pasti orang tersebut akan memilih yang pertama, karena al-Qur’an mengetengahkan pemikiran yang cocok dengan akal sehat. Boleh jadi tidak ada undang-undang yang lebih detail tentang masalah perceraian, kecuali undang-undang dan hukum yang telah di gariskan al-Qur’an tentang masalah ini.”


Seorang ilmuwan dari Inggris Fard Ghayum, Guru Besar Universitas London mengatakan :
Al-Qur’an adalah kitab mendunia yang memiliki keistimewaan sastra yang tinggi, yang terjemahnya saja tidak bisa mewakili tingginya sastra aslinya. Karena lagunya berirama khusus, keindahannya mengagumkan, dan pengaruhnya yang luar bisa terhadap yang mendengarkan. Banyak kaum nashrani Arab yang terpengaruh gaya bahasa dan sastranya. Begitu juga kaum orientalis, banyak di antara mereka yang menerima al-Qur’an. Ketika dibacakan al-Qur’an, kami orang-orang Nashrani terpengaruh, laksana sihir yang menembus jiwa kami, kami merasakan ungakapnnya yang indah, hukumnya yang orisinil. Keistimewaan seperti ini yang menjadikan seseorang merasa terpuaskan, dan bahwa al-Qur’an tidak mungkin ada yang mampu menandinginya.”


Knett Grigh, Guru Besar Universitas Cambridge memberi kesaksian :
Tidak akan mampu seseorang sepanjang empat belas abad yang lalu, sejak diturunkannya al-Qu’ran sampai sekarang ini, yang mampu membuat seperti ayat al-Qur’an, satu ayat sekalipun. Karena al-Qur’an bukan kitab yang dikhususkan untuk zaman tertentu, bahkan al-Qur’an ini alami yang akan terus berlangusng sepanjang zaman. Meskipun dunia dan kehidupan ini berubah, namun setiap manusia memungkinkan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Mengapa al-Qur’an lebih unggul dan menjadi pedoman hidup manusia sepanjang masa? Karena al-Qur’an mencakup hal-hal yang kecil maupun urusan yang besar. Tidak ada sesuatu yang tidak diatur oleh al-Qur’an. Saya yakin, bahwa al-Qur’an mampu mempengaruhi orang Barat, dengan syarat, al-Qur’an dibacakan dengan bahasa aslinya, karena terjemahnya tidak mampu memberi pengaruh kejiwaan dan rohani, berbeda dengan bacaan aslinya yang menggetarkan jiwa, meluluhkan qalbu.”

MENYADARI DAN MENSYUKURI SEGALA KEKURANGAN PASANGAN KITA

Seusai upacara sebuah pernikahan ayah mempelai wanita memanggil menantu laki-lakinya yang baru saja diresmikan pernikahannya. Ia menyeret sang menantu baru ke pojok ruangan dan mengatakan “Kamu mungkin sangat mencintai anak saya, bukan?” dan si pemuda yang sangat bahagia di hari istimewa tersebut langsung menimpali “Hm, tentu Ayah, saya sangat mencintainya”. Lalu si mertua melanjutkan ,”Dan mungkin kamu berpikir bahwa dialah wanita paling hebat di dunia”. “Yeaaa, dia begitu sempurna dalam segala hal. Saya telah memutuskan yang terbaik untuk diri saya dan untuk dirinya”, sambung si pemuda yang hatinya sangat berbunga-bunga. “Itulah yang kamu rasakan sewaktu baru menikah. Namun setelah beberapa tahun, kamu akan mulai melihat kekurangan-kekurangan anak saya. Saat kamu mulai menyadarinya, saya ingin kamu ingat yang berikut ini, Menantuku : jika dia tidak punya kekurangan-kekurangan itu  maka dia mungkin sudah menikah dengan orang lain yang jauh lebih baik dari dirimu!”, si mertua mengatakan dengan nada sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang.
Moral dari cerita ini adalah bahwa kita perlu bersyukur atas kekurangan-kekurangan pasangan kita, karena jika dari awal mereka tidak memiliki kekurangan-kekurangan itu maka mereka sudah pasti akan menikah dengan orang lain yang jauh lebih baik daripada kita.
Hal ini juga terjadi pada anak-anak kita. Saat mereka memiliki sikap atau perilaku buruk yang tidak kita harapkan sekarang ini maka sadarilah bahwa kita pun memiliki peran atas terbentuknya hal itu pada dirinya. Introspeksi diri dan perbaikan atas sikap kita akan membantunya mengubah sikap atau perilaku buruk tersebut.
Jika artikel ini Anda pikir bisa sangat bermanfaat juga bagi rekan, sahabat atau sanak saudara anda maka tolonglah untuk memberitahukan pada mereka Blog : alviemessi.blogspot.com ini.


Salam hangat penuh cinta untuk para pasangan dan orangtua Indonesia…..!!!!!

Senin, 19 Oktober 2009

MOTIVASI ORANG TUA TERHADAP ANAK-ANAKNYA

Salah motivasi, takutlah yang didapat. “Motivasi”, kata populer dalam mendidik anak-anak - dan juga karyawan. Mulai dari orangtua hingga kepala sekolah, pasti pernah melontarkan kata ajaib ini. “Anak ibu kurang motivasi. Tolong ya dimotivasi di rumah”. Atau “Motivasinya mudah dipengaruhi teman-temannya, jadinya dia sering ikut-ikutan ulah temannya. Tolong diperhatikan ya…”. Pernah mendengar himbauan ini ?
Apakah motivasi itu? Menurut kamus Merriam-Webster’s 11th, motivasi adalah sesuatu (seperti kebutuhan atau keinginan) yang menyebabkan seseorang mau bertindak atau bereaksi. Definisi yang baik, bukan ? Karena baiknya, banyak orang yang menggunakannya namun seringkali kelebihan dosis, sehingga menjadi kurang tepat guna.
Ada seorang anak laki-laki yang bernama Brave – lahir di urutan pertama. Pandangan yang beredar di masyarakat menyatakan bahwa seorang anak laki-laki harus mampu tumbuh menjadi anak pemberani dan bisa melindungi adik-adiknya maupun orangtuanya. Namun pada perkembangan anak ini, terjadi penyimpangan. Si anak tumbuh menjadi anak yang takut suasana gelap dan takut suara guntur.
Sebagai orangtua, penyimpangan ini disikapi dengan pemberian motivasi seperti ini, “Mama aja, dulu waktu masih kecil berani sama gelap. Waktu itu umur mama masih lebih kecil dari kamu loh. Masa kamu sudah SD masih saja takut. Kalau kamu masih bayi, wajar takut sama gelap. Sekarang kan sudah gede. Udah punya adik lagi.”
Atau ”Ayo… dong kak … masa sama guntur aja takut. Kan ada mama disini.” Atau “Ingat loh… nama kakak kan Brave, artinya itu pemberani. Jadi anak yang pemberani dong”.
Motivasi yang diberikan sang Bunda, justru membuat Brave menjadi lebih ciut nyalinya menghadapi suara keras dan gelap. Bahkan rasa takutnya ini merembet menjadi takut bertemu orang lain.
Rasa takut Brave terhadap gelap tentu punya sejarah sebelumnya. Usut punya usut, ternyata ketika Brave masih batita, pernah dikunci di kamar mandi oleh baby sitternya. Pengalaman traumatis ini, yang belum mendapatkan penanganan terbawa hingga sekarang dan diperparah dengan kesalahan memberi motivasi pada Brave. Maksud/niat sang ibu adalah baik yaitu menumbuhkan keberanian dalam diri anaknya namun kurangnya satu langkah dalam pemberian motivasi menyebabkan motivasi tersebut tidak diterima dengan baik oleh bawah sadar si anak. Langkah apakah yang kurang ?


Berikut langkah-langkah pemberian motivasi agar lebih berhasil dan didengar oleh anak.
  1. Pahami dan terima semua perasaan dan pikiran anak.
Rasa takut, rasa malas, rasa tidak aman, rasa cemas, pastilah berawal dari pemikiran yang salah yang tercipta dalam otak anak. Tugas kita pada saat awal ini adalah menggali kesalahan-kesalahan pemikiran dari anak yang menyebabkan ia memiliki rasa takut dan perasaan negatif lainnya. Setelah mendapatkan pemikiran salah yang melatarbelakangi munculnya perasaan itu, maka tugas selanjutnya adalah menerima dan memahami perasaan dan pemikiran tersebut. Kesalahan terbesar orangtua adalah justru menertawakan, mengabaikan dan meremehkan perasaan dan pemikiran anak. Akibatnya, anak menjadi semakin jauh dengan kita, sebagai orangtua dan ia menjadi tidak berani terbuka dan jujur lagi.
Ada juga anak yang tidak termotivasi dalam belajar lebih dikarenakan ia merasa kurang diperhatikan oleh orangtua. Dampaknya ia menjadi malas belajar supaya mendapatkan perhatian walaupun negatif. Dengan dimarahi atau ditemani ketika belajar, anak mendapatkan hal yang diinginkannya yaitu perhatian dan dekat dengan orangtua. Jika hal ini yang terjadi pada diri anak Anda terimalah perasaan kurang diperhatikan tersebut dan mulailah memberikan perhatian pada anak dengan memiliki waktu berdua – diluar jam belajar.
  1. Katakan bahwa kita pernah mengalami perasaan serupa saat kecil (Atau jika tidak pernah, tetap katakan pernah mengalami).
Saat  anak mengetahui bahwa orangtua juga pernah mengalami hal serupa maka ini akan  membantu anak mengerti bahwa perasaannya adalah alami dan wajar. Selain itu, ia juga akan melihat diri kita sebagai seorang manusia yang sama dengan dirinya.
Perasaan sama ini akan semakin membuat figur kita menjadi mudah untuk dijangkau oleh anak. Apabila ada orangtua yang hanya menceritakan kehebatannya di masa kecil dapat dibayangkan kemungkinan apa yang terjadi.
Kemungkinan itu adalah anak  akan merasa rendah diri. Hal ini dikarenakan anak merasa orangtuanya adalah manusia yang super hebat. Sedangkan dirinya adalah manusia kecil yang tidak berdaya. Hal ini tentunya akan menciptakan jurang pemisah  yang semakin lebar antara orangtua dan anak secara tidak sadar. Bahkan ada anak yang merasa bahwa dirinya bukanlah anak dari orangtuanya, hanya karena ia merasa tidak sehebat papa atau mamanya. Atau kemungkinan lain, anak akan berusaha mati-matian menjadi diri orangtuanya ketika kecil (dengan bersikap dan berbicara yang mirip). Pada kasus yang ekstrem, anak akan kesulitan menjadi diri sendiri dan mengenal diri sendiri.
  1. Berikan pemikiran yang benar
Setelah tahu latar belakang pemikirannya yang membawa pada munculnya perasaan yang negatif, tugas kita selanjutnya adalah meluruskannya. Misalnya jika anak merasa takut dengan ujian yang akan dihadapi besok. Cukup katakan “Terkadang rasa takut itu membuat kita menjadi lebih siaga sehingga lebih waspada terhadap apa yang akan dihadapi besok. Jadi rasa takut itu sebenarnya pengingat kita untuk menghadapi suatu tantangan”. Atau “Kadang-kadang mama harus menghadapi dulu tantangannya, kerjakan dulu dan selesaikan dulu, baru akhirnya mama sadar bahwa sebenarnya mama itu pintar juga lo.” “Ujian itu memang rasanya menakutkan tapi kalau kita sudah belajar, istirahat yang cukup, mama rasa pasti kita semua akan berhasil melewati. Kalaupun ternyata masih kurang memuaskan ya tidak masalah nanti pasti akan lebih baik lagi.”
  1. Berikan sugesti bahwa kita percaya pada kemampuan anak.
Pemberian sugesti ini akan membantu anak untuk mempercayai dirinya sendiri. Kadang kala rasa percaya diri timbul ketika ada satu orang yang percaya bahwa kita memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu tantangan. Bagi seorang anak “satu orang” itu adalah kita sebagai orangtuanya, orang terdekatnya. Cukup katakan “Papa  percaya, malam ini kamu akan tidur dengan enak dan besok akan buka mata dengan badan yang segar.” Atau “Mama yakin ujian besok dapat kamu kerjakan dengan teliti dan rapi,  kerjakan saja dan nikmati semuanya, ok!”.


Saya yakin dan percaya bahwa para pembaca sekalian akan mendapatkan hasil yang luar biasa menerapkan hal tersebut di atas karena apa yang saya bagikan ini adalah hal yang mendasar yang kami berikan juga pada para klien-klien Alvie Messi dalam ruang terapi dan konseling kami”. Terima Kasih.

Selasa, 13 Oktober 2009

BAHASA ARAB ADALAH BAHASA ISLAM

Penulis: M. B. AL-FITRO
Muroja’ah: Ustadz Drs. Halim Mahfudz, M.Pd.I, M.Fil

Kemuliaan Bahasa Arab
Tahukah engkau saudariku, keutamaan bahasa arab sangatlah banyak. Sebagaimana perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2, yang artinya,

“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkan.”

Ia berkata, “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab) karena bahasa arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat Yusuf)

Bahasa Penduduk Surga
Suatu saat terjadi percakapan di antara seorang ustadz dan seorang pria.

A: Ustadz, katanya bahasa surga itu bahasa arab ya?
B: Katanya begitu pak… tapi haditsnya dho’if.

Tahukah engkau saudariku, memang banyak kita dengar perkataan bahwa bahasa arab adalah bahasa yang digunakan di surga. Namun ternyata tidak ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang masalah ini sebagaimana dinyatakan Abu Shuhaib al-Karami yang mentahkiq kitab Mukhtashar Hadi al-Arwah karya Ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah. Namun banyak atsar salaf yang menguatkan hal ini (bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab). Wallahu a’lam bi shawab.

‘Afwan Jiddan (??)

Kalimat yang satu ini, rasanya sudah menjadi sebuah perkataan umum yang merebak dimana-mana. Secara kata perkata, memang terlihat benar, karena ‘afwan berarti maafkan aku, sedangkan jiddan artinya sungguh-sungguh/benar-benar.

Tahukah engkau saudariku, ternyata kalimat ‘afwan jiddan tidak dikenal dalam bahasa arab yang benar. Ini sama seperti seseorang yang belajar bahasa Inggris kemudian mengatakan, “My watch is dead”. Secara kata perkata memang benar, namun secara penggunaan bahasa asalnya, kalimat tersebut bukanlah kalimat yang benar.

Kata ‘afwan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sebuah permintaan maaf yang sangat. Jika dirinci, kata ‘afwan mempunyai kalimat lengkap Asta’fika yang artinya aku benar-benar minta maaf kepadamu. Nah, berarti maksud orang yang mengatakan ‘afwan jiddan bahwa ia minta maaf dengan sungguh-sungguh sebenarnya sudah diwakilkan dengan kata ‘afwan itu sendiri. Adapun kata dalam bahasa arab lainnya yang berarti maaf adalah aasif. Dan untuk kata ini (aasif) tidak terkandung makna permintaan maaf dengan sungguh-sungguh.

4 Nama Nabi

Tahukah engkau saudariku? Ternyata hanya ada 4 Nabi kita (yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah) yang memiliki nama dari bangsa Arab murni, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, Shalih, Syu’aib dan Hud. Adapun nama-nama nabi lainnya merupakan nama ‘ajam (asing). Dan secara kaidah bahasa arab, antara nama asli Arab dan nama asing memberikan konsekuensi yang berbeda, yaitu untuk nama asing dalam penggunaannya tidak boleh diberi tanda tanwin. Masih penasaran? Ayo belajar bahasa arab…

Musyawarah Akbar (??)

Kadang aneh terlihat, ketika suatu spanduk dari organisasi Islam kemudian bertuliskan musyawarah akbar. Tahukah engkau saudariku, terdapat kesalahan penerapan kaedah bahasa arab dalam susunan tersebut.

Kata musyawarah (yang berasal dari bahasa arab) merupakan isim muannats (jenis kata feminin). Sedangkan kata akbar merupakan isim mudzakar (jenis kata maskulin). Dalam kaedah bahasa arab, tidak tepat jika memadankan dua kata (yang dinamakan na’at man’ut) dengan kata yang berlainan jenis. Maka yang benar adalah musyawarah kubro. Karena kata kubro merupakan isim muannats. Bingung? Ayo belajar bahasa arab…

Abu dan Ummu

Tahukah engkau saudariku, penggunaan Abu dan Ummu juga dipelajari dalam bahasa arab pada bab ‘Alam (nama). ‘Alam itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah kun-yah. Kun-yah adalah nama yang diawali dengan lafazh Abu dan Ummu, seperti Abu Bakr, Ummu Kultsum dan sebagainya. Biasanya, kata yang digunakan setelah kata Ummu atau Abu adalah nama anak pertama dari sang pemilik nama. Namun, tidak berarti bahwa orang yang belum menikah bahkan anak-anak sekalipun tidak dapat menggunakan nama kun-yah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan nama kun-yah, dalam hadits yang diceritakan oleh Anas radhiallahu ‘anhu,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Umair. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam datang, lalu memanggil: ‘Wahai Abu ‘Umair, apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair kecil.’ Sementara anak itu sedang bermain dengannya.” (HR. Bukhari)

Pentingnya Belajar Bahasa Arab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon)

Tahukah engkau saudariku, dorongan untuk belajar bahasa arab bukan hanya khusus bagi orang-orang di luar negara Arab. Bahkan para salafush sholeh sangat mendorong manusia (bahkan untuk orang Arab itu sendiri) untuk mempelajari bahasa arab.

Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Iqitdha)

‘Umar radhiallahu ‘anhu juga mengingatkan para sahabatnya yang bergaul bersama orang asing untuk tidak melalaikan bahasa arab. Ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Adapun setelah itu, pelajarilah Sunnah dan pelajarilah bahasa arab, i’rablah al-Qur’an karena dia (al-Qur’an) dari Arab.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)

Dari Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.” (Mafatihul Arrobiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)

Dari as-Sya’bi, “Ilmu nahwu adalah bagaikan garam pada makanan, yang mana makanan pasti membutuhknanya.” (Hilyah Tholibul ‘Ilmi, dikutip dari majalah Al-Furqon)

10 Tips Menjadi Pasangan yang Lebih Baik




    Realistislah terhadap satu sama lain.

Janganlah mencoba untuk mengubah pasangan anda menjadi seseorang yang anda inginkan. Marilah hadapi kenyataan. Janganlah harapkan pasangan anda jadi Pamela Anderson ataupun Brad Pitt! Cintai pasangan apap adanya. Ada sesuatu yang lebih yang dimiliki oleh pasangan anda yang tak dimiliki oleh siapapun di dunia ini!
          Selalu bicara secara terbuka namun tetap dengan respek
Bagi pria ini bukanlah suatu hal yang mudah mengingat pria lebih suka diam ketika memecahkan masalah. Namun wanita sungguh berbeda. Janganlah membuat asumsi sendiri mengenai perasaan pasangan anda. Belajarlah untuk mengekspresikan perasaan anda dengan tepat sehingga pasangan anda menjadi makin mudah memahami ketika anda marah, terluka, tersinggung ataupun bahagia. This works with the girls. Jika anda berhenti berkomunikasi dari hati ke hati itulah awal dari sebuah perpisahan.

    Lakukan sesuatu yang menarik secara bersama-sama

Carilah sesuatu yang bisa anda lakukan bersama-sama. Anda bisa melakukan olahraga favorit bersama-sama. Ataupun melakukan suatu hobi yang anda berdua sama-sama senang. Nikmati ketika melakukan hal itu. Bisa jadi anda berdua cukup menonton VCD di ruang keluarga! Atau mungkin jalan bergandengan tangan di mall seperti masih pacaran. Berhati-hatilah jika anda lebih suka menghabiskan lebih banyak waktu dengan sahabat anda daripada dengan pasangan anda. Itu sebuah tanda yang kurang baik.

    Jangan terlalu perfeksionis

Belajarlah untuk menerima apa yang dilakukan oleh pasangan anda walaupun itu hanyalah separo dari yang anda ingin dia lakukan. Seringkali kita menuntut pasangan kita untuk selalu memencet pasta gigi dari bagian paling bawah. Ketika ia memencetnya dari manapun, “Yang penting kan keluar pasta giginya!” demikian pendapatnya, cobalah untuk memakluminya. Dalam sebuah relasi ada beberapa hal dimana kita harus bisa saling bisa memberi dan menerima.

    Tunjukkan cinta anda

Bagi anda para pria cobalah membawa pulang bunga kesukaan istri anda. Bisa juga coklat atau makan malam romantis bersama atau apapun yang dia sukai. Bagi anda para wanita manjakan pasangan anda dengan memasakkan makanan favoritnya secara spesial atau berikan kartu Valentine atau sesuatu yang dia inginkan tetapi belum sempat terbeli. Jika anda mengetahui bahasa cinta dominannya maka berikan secara kontinu. Ada 5 bahasa cinta dimana salah satu adalah bahasa cinta dominan kita. Kelimanya adalah sentuhan fisik, kata-kata pendukung, waktu berkualitas, pelayanan, hadiah. Menunjukkan secara kontinu rasa peduli pada orang yang anda cintai adalah suatu hal yang sangat menyenangkan.

    Saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Janganlah membuat lelucon tentang rambut atau kulit pasangan anda di depan orang lain atau anak-anak. Meskipun maksudnya murni hanya bercanda tetapi pikiran bawah sadarnya bisa menangkap maksud yang berbeda. Hal ini bisa jadi menggerogoti rasa percaya dirinya. Mencintai adalah menghargai perasaan satu sama lain dan menjadi peka terhadap perasaan pasangan kita.

    Kuburlah masa lalu.

Berhentilah mengungkit-ungkit masa lalu yang negatif. Tak ada seorang pun yang ingin diingatkan tentang segala sesuatu yang membuatnya merasa malu. Apapun yang sudah terjadi telah selesai!

    Hilangkan kecemburuan.
Setiap dari kita mempunyai rasa ketidaknyamanan pada sebuah permulaan relasi namun jangan biarkan rasa tidak nyaman dan tidak aman tersebut berubah menjadi kecemburuan. Kecemburuan seperti racun yang secara perlahan menyebar ke seluruh sendi-sendi relasi anda. Percayailah pasangan anda. Mencintai adalah memiliki rasa percaya pada pasangan.

    Jaga komitmen satu sama lain.

Janganlah membuat sebuah janji yang kita rasakan tak mampu untuk dipenuh. Jika dipaksakan maka ini akan mengurangi respek pasangan kita. Menjaga kepercayaan dan saling menghormati adalah bentuk komitmen dari sebuah relasi yang sehat. Jika pasangan kita mulai merasakan bahwa ia tak penting bagi kita maka bersiaplah utnuk kehilangan hatinya.

    Jujurlah.

Jujur itu bukan berarti harus mengatakan bagaimana jelek dan amburadulnya wajah pasangan anda saat ia baru bangun tidur. Maksud dari kejujuran di sini adalah kejujuran untuk mengungkapkan perasaan terdalam kita. Jika merasa marah katakan bahwa kita sedang merasa marah. Jika merasa terlukan katakan bahwa kita merasa terluka. Katakanlah dengan sikap tenang tanpa teriak-teriak. Jika kita tidak bisa jujur pada pasangan kita lalu kepada siapa kita harus jujur? Mencintai adalah tentang menjadi jujur pada diri sendiri dan pasangan


Senin, 12 Oktober 2009

Mendaur Ulang Keyakinan Negatif ; Membangun Logika Baru untuk Sukses dari Belief Negatif



Sebagai kado untuk teman-teman saya yang baru kemarin diwisuda pada 10 okt 2009, kali ini saya menuliskan sebuah artikel yang akan sangat berguna untuk menyongsong lembaran baru kehidupan Anda. Marilah kita sama-sama memanfaatkan momen yang bagus ini untuk mempersiapkan diri mengalami perubahan diri. Menjadi individu yang lebih baik, menjadi pasangan yang lebih baik, dan menjadi orangtua yang lebih baik serta menjadi sahabat yang lebih baik.

Pernahkah Anda mendengar seseorang mengatakan “Hmmm... tampaknya saya tak mampu menjadi agen asuransi yang baik, buktinya sudah dua bulan ini target tak tercapai” atau mungkin sebagai orangtua Anda pernah mengatakan dalam hati “Ahh, mendidik anak memang sulit, buktinya mereka sulit sekali menurut sama saya tapi kalau sama orang lain lebih menurut” dan masih banyak belief negatif lainnya.

Semua belief negatif tadi seakan-akan sangat logis karena didukung oleh serangkaian bukti nyata yang memperkuat hal tersebut. Dan begitu kita meyakinkan diri kita dengan serangkaian fakta tersebut maka hal tersebut menjadi sebuah program yang makin memperkuat belief negatif kita. Belief tersebut menancap makin dalam di pikiran bawah sadar kita.
Satu pertanyaan yang akan menggelitik kita semua : jika pikiran bawah sadar kita bisa diyakinkan menerima belief negatif dengan sebuah fakta nyata yang logis mungkinkah kita melakukan hal yang sama untuk belief positif?

Jawabannya tentu bisa ! Bagaimana caranya? Sederhana saja. Kita tinggal mengurutkan proses logika berpikir kita dan kemudian dengan kekuatan self talk yang terjadi selama proses mengurutkan belief tersebut maka kita akan menembus homeostasis dan psikosklerosis perlahan namun pasti.

Kunci sukses untuk melakukan hal ini adalah menuliskannya dengan sungguh-sungguh dan bekerja dengan kejernihan pikiran. Tuliskan saja apa yang muncul di pikiran dalam satu kalimat singkat dan padat dan ikuti saja langkahnya. Saya sering menggunakan teknik ini untuk membantu diri saya sendiri dan ratusan anak beserta orangtuanya dengan sukses dalam ruang terapi maupun dalam sebuah pelatihan. Tentunya settingnya agak berbeda sedikit jika saya melakukannya dalam ruang terapi namun intinya tetaplah sama.

Baik marilah kita mulai 7 langkah super melogikakan belief  negatif  dan mengubahnya menjadi roket pendorong sukses.
+   Langkah 1 : Tuliskan satu impian Anda yang penting dan bayangkan impian tersebut telah tercapai. Tuliskan bagaimana perasaan Anda saat membayangkan impian tersebut telah tercapai.
Contoh : saya merasa berharga dan gembira luar biasa  dengan keberhasilan saya menjadi seorang terapis keluarga
Sekarang giliran Anda : Saya merasa ……

+    Langkah 2 : Nyatakan keinginan terdalam Anda berkaitan dengan impian tersebut
Contoh : saya memiliki keinginan terdalam untuk membantu banyak keluarga menjadi lebih baik dengan apa yang saya alami dan pelajari
Sekarang giliran Anda : saya memiliki keinginan terdalam untuk ……

+    Langkah 3 : Nyatakan belief negatif yang Anda rasaka menghambat dalam kaitannya untuk mencapai impian tersebut
Contoh : Belief negatif yang menghambat saya adalah pekerjaan itu  menyita waktu saya dengan keluarga
Sekarang giliran Anda : Belief negatif yang menghambat saya adalah ……

+     Langkah 4 : Nyatakan lawan dari belief negatif yang tertulis di langkah 3
Contoh : Keluarga saya ingin saya bahagia dan mendukung saya mencapai impian saya
Sekarang giliran Anda : ……

+    Langkah 5 : Nyatakan apa yang membuat Anda merasakan hidup ini akan terisi penuh. Inilah yang akan menjadi tujuan Anda
Contoh : Saya merasa hidup ini akan terisi penuh saat saya membuat sebuah pelatihan sistematis untuk mengajarkan bagaimana membangun keluarga yang sukses, bahagia dan makmur jasmani dan rohani
Sekarang giliran Anda : Saya merasa hidup ini akan terisi penuh saat saya ……

+    Langkah 6 : Nyatakan fakta yang tak bisa dipungkiri yang mendukung tujuan Anda
Contoh : Suatu fakta nyata bahwa banyak keluarga tak bahagia karena permasalahan yang mereka hadapi  yang membutuhkan bantuan agar menjadi lebih baik
Sekarang giliran Anda : Suatu fakta nyata bahwa ……

+    Langkah 7 : Inilah langkah penutup yang membangun logika baru untuk hidup Anda. Langkah ini membuat Anda telah menentukan suatu alur baru dalam kehidupan. Dan begitu sebuah alur baru dibuat dalam pikiran bawah sadar  maka ia akan mewujudkannya. Tuliskan alur baru kehidupan Anda dengan mengikuti format berikut : 
Jika : Saya memiliki keinginan terdalam untuk ……(ambil pernyataan di Langkah 2)
Dan : Saya merasa hidup ini akan terisi penuh saat saya ……(ambil pernyataan di Langkah 5)
Dan : Adalah suatu fakta nyata bahwa…… (ambil pernyataan di Langkah 6)
Maka:  Adalah sangat masuk akal jika……(ambil pernyataan di Langkah 4)
Kesimpulan ……………………………………….

Jika menggunakan contoh di atas maka logikanya menjadi sebagai berikut :
Jika : Saya memiliki keinginan terdalam untuk membantu banyak keluarga menjadi lebih baik dengan apa yang saya alami dan pelajari
Dan : Saya merasa hidup ini akan terisi penuh saat saya membuat sebuah pelatihan sistematis untuk mengajarkan bagaimana membangun keluarga yang sukses, bahagia dan makmur jasmani dan rohani
Dan : Adalah suatu fakta nyata bahwa banyak keluarga tak bahagia karena permasalahan yang mereka hadapi  yang membutuhkan bantuan agar menjadi lebih baik
Maka:  Adalah sangat masuk akal jika keluarga saya ingin saya bahagia dan mendukung saya mencapai impian saya
Kesimpulan : Saya memiliki apapun yang perlukan untuk mewujudkan impian saya termasuk juga keluarga yang mendukung penuh.

Mudah bukan? Saya harap semuanya menjadi sangat jelas  karena saya berusaha menuliskan apa yang saya lakukan dalam sesi terapi dan konseling sedetail mungkin walaupun bahasa tubuh ketika saya menanyakan hal tersebut pada klien tak bisa saya gambarkan dengan detail.  Namun saya percaya bahwa jika Anda melakukannya dengan sungguh-sungguh maka Anda akan mencapai suatu pencerahan baru dalam satu bagian hidup Anda.

Terima kasih telah mengijinkan saya menjadi satu bagian dari kesuksesan, kebahagiaan dan kemakmuran hidup Anda. Saya ikut merasakan kebahagiaan Anda.
Salam hangat penuh cinta untuk Anda sekeluarga

Moh. Bahruddin Al-Fitro

http:\\alviemessi.blogspot.com

KEDEKATAN FISIK TIDAK SAMA DENGAN KEDEKATAN EMOSIONAL



Ibu Ani, bukan nama sebenarnya, kebingungan menghadapi anaknya yang baru saja kelas 1 SD. Tingkah lakunya menjadi susah dikontrol dan sering dimarahi guru di kelas. Ia dilaporkan sering berjalan-jalan di kelas mengganggu teman-temannya ketika pelajaran berlangsung. Di rumah pun demikian, adiknya tak pernah lolos dari gangguannya. Hal ini terjadi sejak ia mulai masuk kelas 1 SD. Selain itu motivasi belajarnya juga naik turun namun banyak turunnya.
Sampai suatu saat guru kelasnya angkat tangan dan menyarankan orangtuanya untuk pergi ke psikolog dan melakukan tes IQ. Setelah beberapa hari keluarlah hasil tes yang dimaksud yang menyatakan bahwa si Erik, anak Ibu Ani, normal-normal saja. IQ nya 122 skala Weschler. Saran dari tes tersebut adalah Erik perlu pendampingan yang lebih konsisten dan diperhatikan kebutuhan emosionalnya.
Saudara Ibu Ani, teman baik saya, menyarankan Ibu Ani pergi menemui saya sekedar untuk mendapatkan wawasan dan bertukar pikiran. Singkat cerita saya pun menemui Ibu Ani, suaminya dan teman saya tersebut, sekaligus melepas rindu karena lama tak ngobrol lagi dengannya sejak kami berpisah sewaktu lulus SMA.
Setelah membaca hasil tes IQ Erik saya bertanya pada Ibu Ani beberapa hal. Ibu Ani tidak bekerja, ia sebagai ibu rumah tangga yang sehari-hari mengurus pekerjaan rumah tangga dan 2 orang anaknya. Ia mengeluh mengapa waktu yang ia curahkan untuk si Erik seakan kurang. Apalagi sejak kelahiran adiknya maka si Erik suka sekali mencari perhatian dengan melakukan berbagai hal yang aneh-aneh.
Satu hal yang perlu kita sadari tentang kedekatan orangtua dengan anak. Banyak orang mengartikan kedekatan orangtua dengan anak hanyalah kedekatan secara fisik. Seperti suami Ibu Ani, ketika saya tanya berapa banyak waktu yang ia curahkan pada Erik secara rata-rata dalam sehari. Ia mengatakan bahwa setiap pulang kerja ia selalu menemani Erik. Dan itu terjadi hampir tiap hari kecuali kalau ada tamu.
Kemudian saya menggali lebih dalam lagi untuk tahu apa yang ia lakukan sewaktu bersama Erik. Ia pun menjawab bahwa mereka berdua nonton TV. “Oke saya harap anda berdua menonton film edukasi bagi si Erik, jangan nonton sinetron yang banyak adegan kekerasan, manipulasi, iri dan dengki”, kata saya.
“Lha mana bisa Pak, Papanya suka nonton sinetron kok!”, sahut Ibu Ani tiba-tiba.
“Oke Pak, kalau begitu bolehkah saya tahu satu hal lagi? Apakah yang Bapak lakukan sewaktu nonton TV dengan Erik?”, tanya saya lebih spesifik pada suami Ibu Ani.
“Ehm, ya nonton aja Pak sambil terkadang peluk Erik”, katanya.
Dan saya pun segera bisa menebak apa yang kurang pada si Erik. Kedua orangtua Erik hanya dekat secara fisik dengan anak mereka namun tidak ada keterlibatan emosi yang mendalam.
Kebanyakan orangtua bertindak sebagai “supervisor” bagi anaknya. Ketika sang anak pulang sekolah maka serentetan “pertanyaan rutin” dan bisa ditebak pasti meluncur menyerang si anak. Sambil menggandeng tangan anak maka muncullah pertanyaan semacam ini :
· “Tadi ulangannya bisa atau tidak?”
· “Ada PR atau tidak?”
· “PR mu tadi benar atau tidak?”
· “Besok ulangan apa?”
· “Makanannya tadi habis atau tidak?”
· “Kamu tadi nakal atau tidak?”
· “Kamu tadi dihukum atau tidak?”
Dan terjadilah percakapan mekanis yang berulang dari hari ke hari selama anak itu sekolah. Bisa jadi itu pertanyaan yang sama yang akan diucapkan pertama kali saat anak pulang sekolah dari SD sampai SMU. Dan inilah yang sering dimaksud oleh para orangtua dengan “kedekatan dengan anak”. Ya …… memang itu kedekatan tapi lebih banyak kedekatan secara fisik saja.
Sama juga dengan ketika memandikan anak, mengajaknya nonton VCD bersama atau mengajaknya jalan-jalan. Ada yang melakukannya dengan sepenuh hati sambil bercakap-cakap santai dengan si anak ada juga yang hanya sekedar melakukan hal itu semata-mata karena kita memang harus melakukannya. Bukan dengan sepenuh hati.
Lalu bagaimana caranya agar kedekatan kita bermakna bagi anak? Pastikan kita mengetahui apa yang ia rasakan. Katakan pada anak sewaktu ia pulang sekolah “Halo Sayang, bagaimana harimu? Apa yang kamu rasakan hari ini? Bersemangat atau gembira atau tak sabar menanti hari esok karena ada suatu kejutan?”
Setelah ia menanggapi jangan berusaha menasehati apapun, cukup dengarkan saja. Kalau ia mengatakan sesuatu yang positif maka katakan “Wow, Mama/Papa ikut senang mendengarkan pengalamanmu hari ini. Terus … terus apa lagi?”
Kalau ia mengatakan sesuatu yang negatif cukup katakan,”Oh, Mama/Papa ikut sedih mendengar hal itu. Mama/Papa juga pernah mengalami perasaan seperti itu. Kamu mau mendengar bagaimana Mama/Papa mengatasi perasaan itu?” Dan kemudian ceritakan tanpa bermaksud menggurui. Setelah itu berikan pelukan hangat padanya.
Ingatlah sewaktu mendengarkan anak bercerita atau mengungkapkan perasaanya maka pastikan kita tak melakukan apapun atau mengerjakan apapun. Tatap matanya dan dengarkan dengan penuh perhatian. Jika ada telepon dan itu bisa ditunda cobalah untuk tidak menanggapinya terlebih dahulu jika memang Anda memandang anak lebih penting. Dalam hati terdalam seorang anak ia ingin dinomorsatukan oleh papa atau mamanya.
Selain itu perhatikan tangki emosional anak kita. Tangki emosional atau tangki cinta ini kita penuhi melalui bahasa cinta yang tepat. Ada lima bahasa cinta yang bisa kita berikan pada anak tergantung mana yang dominan. Kelimanya adalah layanan, kata-kata pendukung, hadiah, sentuhan fisik, dan waktu berkualitas. Jika tangki emosional seorang anak penuh maka ia mudah diajak kerja sama dan mudah menurut serta memiliki motivasi tinggi.
Karena keterbatasan ruang maka hal mendetail mengenai bahasa cinta, bagaimana menemukan yang utama dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan bisa Anda baca di artikel sebelumnya atau bisa juga dengan melihat secara komplit di DVD Tangki Cinta yang berdurasi 3 jam.