Senin, 01 November 2010

Model Pembelajaran Bahasa Arab yang Terfokus kepada Peserta Didik

I. Pendahuluan
Sekarang ini bahasa Arab masih dianggap sebagai bagian dari "Pendidikan Agama". Perekrutan para pengajarnya pun sering tumpang tindih. Seorang lulusan Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam, tidak sedikit yang diberi tugas untuk mengajar bahasa Arab. Sebaliknya, seorang lulusan Fakultas Adab Jurusan Sastera Arab juga tidak sedikit yang diberi tugas untuk mengajar pengetahuan agama Islam. Itulah sebabnya dalam beberapa LHBS (raport) kita dapatkan bahasa Arab diletakkan satu kelompok dengan mata-mata pelajaran di bawah bagian "Pendidikan Agama". Dengan adanya persepsi seperti ini, yaitu anggapan bahwa bahasa Arab merupakan bagian dari pendidikan agama, di samping latar belakang pengajarnya yang berbeda-beda, tak diherankan jika hasil pembelajaran bahasa Arab di Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkan.
Dalam Kurikulum 2004 dan 2006 disebutkan bahwa salah satu karakteristik mata pelajaran bahasa Arab adalah bahwa bahasa Arab mempunyai dua fungsi, yakni sebagai alat komunikasi antara manusia dan sebagai bahasa agama Islam. Tetapi kenyataan di sekolah-sekolah atau di madrasah-madrasah pada umumnya lebih menitik beratkan pada fungsi kedua, yaitu sebagai bahasa agama Islam.
Pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing keberhasilannya tidak sekadar bertumpu pada kurikulum, tetapi juga kepada model dan metode pembelajarannya, selain faktor yang terpenting adalah pengajarnya itu sendiri.
S. Karim. A. Karhami, Kepala Bidang Bangkur SMU Balitbang Diknas dalam makalahnya yang berjudul "Mengubah Wawasan & Peran Guru dalam Era Kesejagatan" yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 035 – Maret 2002, menghimbau para guru bahwa dalam era yang penuh dengan perubahan ini hendaknya mereka menyikapi era ini dengan perubahan pula, yaitu dengan meninggalkan pola fikir dan pola tindak lama yang sudah lazim dilakukan. Menurut pandangan lama, guru diilustrasikan sebagai seorang yang maha tahu, maha terampil, sementara siswa sebagai orang yang maha tidak tahu, belajar identik dengan mencatat dan mendengarkan ceramah guru, dan mengajar harus berperilaku seperti tukang jual obat yang mampu berkata-kata kesana kemari. Menurut pandangan baru, guru berperan sebagai "tukang penggagas dan pencipta proses belajar". Guru berperan sebagai fasilitator.
II. Model Pembelajaran Bahasa Arab
Perubahan model pembelajaran seperti yang dianjurkan oleh S. Karim. A. Karhami di atas juga berlaku pada pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing. Selama ini ada dua buah model pembelajaran bahasa asing yang dikenal dalam dunia pendidikan, yaitu (A) model pembelajaran yang terpokus pada guru yang disebut dengan teacher-centered model (TCM) dan (B) model terpokus kepada peserta didik yang disebut Student-centered model (SCM).
A. Teacher Centred Model (TCM)
Dalam TCM, belajar bahasa adalah satu produk transmisi. Guru mengirimkan pengetahuan. Pelajar adalah penerima. Guru bersifat aktif dan murid pasif. Guru bertanggung-jawab untuk mengirimkan semua keterangan kepada murid. Guru berbicara, murid mendengarkan dan menyerap.
1. Kelebihan TCM
TCM mungkin menarik bagi sebagian guru bahasa Arab karena beberapa alasan:
- TCM merupakan metode dimana ia diajari oleh gurunya dulu.
- TCM wajar disukai oleh guru karena ia akan menjadi pusat perhatian di dalam ruang belajar, karena ia satu-satunya yang mengetahui bahasa sementara para murid tidak mengetahui apa-apa.
- TCM memerlukan persiapan yang relatif sedikit: apa yang diperlukan hanya menyajikan bahan sesuai dengan yang telah digariskan pada buku teks.
- TCM juga relatif memerlukan pemikiran yang relatif kecil tentang murid dan aktivitasnya. Semua murid mendengar penyajian guru yang sama, kemudian mengerjakan latihan yang diberikan.
2. Kelemahan TCM
Bagaimanapun, pengajar bahasa yang berpengalaman melihat dari cara mereka mengajar, mengamati bahwa TCM mempunyai dua kelemahan utama, yakni :
- TCM melibatkan hanya sebagian kecil murid dalam pembelajaran bahasa yang sebenarnya.
- TCM memberikan pengetahuan "tentang bahasa", tetapi tidak otomatis membuat mereka mampu menggunakannya sehingga mereka tertarik untuk mempelajarinya.

B. Student Centred Model (SCM)
Untuk mengatasi kelemahan TCM ini, pembelajaran bahasa Arab hendaknya juga mengikuti model pembelajaran bahasa asing lainnya yang pada umumnya lebih maju berkembang dari pada pembelajaran bahasa Arab. Model terbaru yang biasa digunakan dalam pembelajaran bahasa asing adalah SCM.
Pembelajaran bahasa harus terpusat pada pembelajar/peserta didik, yaitu dengan menggunakan SCM. Hal itu karena penggunaan bahasa itu bersifat kreatif, dan kreativitas itu ada di tangan si pengguna yang tidak lain adalah si pembelajar (Soenjono, 2000). Tentang apa yang dimaksud dengan student-centered, Soenjono memberikan penjelasan, yaitu "suatu kegiatan pengajaran di mana perhatian kita curahkan pada proses psikologis yang dilalui pembelajar dalam usaha mereka membelajari bahasa". Guru perlu mengkondisikan kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat terjadi bila ditunjang oleh penerapan strategi belajar yang mendorong siswa terlibat secara fisik dan psikis dalam proses pembelajaran.
Mendengar istilah "Pembelajaran berfokus kepada peserta didik" setidak-tidaknya memuncul-kan pertanyaan, yaitu: "Apakah selama ini kegiatan pembelajaran belum berfokus kepada peserta didik?". Atau pertanyaan lain yang dirumuskan secara berbeda, yaitu: "Apakah selama ini kegiatan pembelajaran berfokus kepada guru?". Seandainya jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan ini adalah bahwa kegiatan pembelajaran tidak lagi berfokus pada guru tetapi sudah berfokus kepada peserta didik, maka pertanyaan berikutnya yang muncul adalah "Bagaimanakah konsep kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik itu?".
Dengan berkembangnya pemikiran tentang pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik, apakah para guru juga sudah memahami bahwa kegiatan pembelajaran yang mereka kelola sehari-hari haruslah berfokus kepada peserta didik. Bagaimanakah peranan atau posisi guru selaku manajer kegiatan pembelajaran (instructional manager) dalam kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik?
Pada model TCM (model pembelajaran yang terpokus pada guru), guru dapat dikatakan sebagai satu-satunya komponen penting dalam kegiatan pembelajaran. Dikatakan sebagai satu-satunya komponen penting dalam kegiatan pembelajaran karena apabila disebabkan satu dan lain hal, guru terpaksa tidak dapat hadir di sekolah, maka kegiatan pembelajaran pun dapat dikatakan tidak akan berlangsung. Dengan demikian, guru memang benar-benar berfungsi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Dari RPP yang disusun guru juga dapat dilihat apakah kegiatan pembelajaran yang dikelola guru masih berorientasi pada kepentingan guru atau peserta didik.
Apakah dengan paradigma kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik mengindikasikan bahwa guru telah mengubah posisi keberadaan dirinya di dalam kelas bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik? Tetapi guru telah memposisikan dirinya sebagai salah satu sumber belajar karena guru telah menerapkan kegiatan pembelajaran yang menggunakan berbagai sumber belajar di dalam kegiatan pembelajaannya. Kegiatan pembelajaran yang demikian ini disebut juga sebagai kegiatan pembelajaran berbasis aneka sumber (resources-based learning).
Manakala guru secara konsisten menerapkan kegiatan pembelajaran berbasis aneka sumber, maka guru yang bersangkutan dapat dikatakan telah menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus pada peserta didik. Dalam kaitan ini, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah "Apakah yang menjadi ciri-ciri atau karakteristik dari kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik?". "Bagaimana pula perbedaannya dengan pembelajaran yang berfokus kepada guru?".
Dari metode mengajar yang diterapkan guru di dalam kelas, dapatlah diketahui apakah sang guru masih tetap menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada dirinya. Kemudian, menarik juga untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Apakah anda sebagai guru hanya menggunakan metode mengajar chalk and talk" (kapur tulis dan bicara)? Apakah anda juga hanya menuliskan di papan tulis materi pelajaran yang perlu anda sampaikan kepada para peserta didik dan kemudian menceramahkannya?. Apakah anda juga mengkondisikan peserta didik untuk hanya duduk manis dan mencatat apa yang anda tulis di papan tulis dan kemudian mendengarkan ceramah anda secara cermat?. Apakah setelah semua tugas mengajar anda selesai, maka anda langsung meninggalkan ruang kelas dan peserta didik pun terbebas dari anda sebagai guru?
Apabila jawaban kita "YA" terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka hal itu mengindikasikan bahwa kita sebagai guru masih berada pada posisi yang menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada diri kita sendiri selaku guru. Untuk lebih memantapkan pemahaman kita mengenai pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik atau guru, maka ada baiknya kita merespon serangkaian pertanyaan yang diajukan berikut ini. Tujuannya adalah untuk melatih kita memahami konsep kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik. Oleh karena itu, sejauh mana kita sebagai guru mampu memahami pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memberikan jawaban secara tuntas, maka pemahaman kita akan semakin lebih jelas mengenai kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik.
"Apakah RPP yang kita susun masih menekankan aspek kemampuan atau keberhasilan kita mengajarkan materi pelajaran? Sejauh manakah materi pelajaran yang telah ditetapkan di dalam RPP telah selesai kita ajarkan kepada peserta didik kita? Atau, apakah kita sebagai guru masih menekankan kegiatan pembelajaran pada tingkat pemahaman atau penguasaan peserta didik (kompetensi) terhadap materi pelajaran yang kita rancang?
Pertanyaan selanjutnya adalah "Apakah peserta didik telah berhasil mencapai tingkat kompetensi sebagimana yang ditetapkan di dalam RPP?". "Apakah kita sebagai guru merasa puas manakala kita telah berhasil menyajikan semua materi pelajaran yang telah direncanakan di dalam RPP?". Apakah menjadi kepedulian (concern) kita juga sebagai guru mengenai materi pelajaran yang telah kita sajikan itu telah benar-benar dipahami/dikuasai oleh peserta didik kita?.
Terhadap serangkaian pertanyaan tersebut di atas, bagaimana kita sebagai guru menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan sekaligus juga merenungkan apa yang menjadi jawaban kita? Apakah kita mengatakan, "Oh ya, berarti sebenarnya saya belum sepenuhnya menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik" atau sebaliknya, "Nah, barulah sekarang saya tahu bahwa saya sebenarnya sudah mulai menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik".
1. Karakteristik SCM
Karakteristik model pembelajaran yang berfokus pada peserta didik (SCM) versi Molly Jhonson (Jhonson, 2007) antara lain adalah bahwa :
a. guru lebih berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran ketimbang sebagai penyaji pengetahuan,
b. pengelolaan kelas yang lebih kondusif terhadap kegiatan dan interaksi peserta didik yang mengarah pada pengalaman belajar yang produktif,
c. peserta didik aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran ketimbang hanya duduk manis dan pasif selama kegiatan belajar berlangsung di dalam kelas,
d. membutuhkan investasi waktu dan energi untuk menerapkan model pembelajaran yang berfokus pada peserta didik.
2. Kelebihan SCM
Dalam SCM ini, pembelajaran bahasa Arab merupakan proses penemuan. Murid mengembangkan kemampuan untuk menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi. Guru memberikan model penggunaan bahasa dan menjadi fasilitator untuk pengembangan keterampilan bahasa murid.
Dalam SCM ini, murid dan guru masing-masing merupakan peserta pembelajaran bahasa yang aktif yang berbagi tanggungjawab terhadap pembelajaran bahasa murid. Guru dan murid bekerja sama dalam mengidentifikasi bagaimana murid mengharapkan penggunaan bahasa. Guru memberi contoh penggunaan bahasa yang baik, betul dan sesuai, sementara para murid kemudian menggunakan model bahasa itu dalam kegiatan-kegiatan praktis yang mensimulasikan situasi komunikasi yang sebenarnya. Ikatan yang aktif antara para murid dan guru akan menghasilkan lingkungan kelas yang dinamis di mana kegiatan belajar-mengajar menjadi bermanfaat dan menyenangkan.
3. Kelemahan SCM
Guru bahasa yang belum pernah menjalankan SCM biasanya merasa khawatir karena beberapa hal:
- SCM memerlukan waktu persiapan yang lebih banyak: Guru harus mempertimbangkan tujuan pembelajaran bahasa murid, mengidentifikasi aktifitas kelas yang akan menghubungkannya dengan bahan yang terdapat dalam buku teks, dan mencari bahan-bahan yang benar-benar ada dalam dunia nyata yang sesuai dan dapat melengkapi buku teks.
- SCM merupakan model yang misterius: Tidak jelas, apa yang akan dilakukan oleh seorang guru untuk membuat kelas menjadi a classroom student centered (kelas yang terpusat pada murid).
- SCM pada pertamanya akan dirasakan tidak akan berjalan dengan baik: Ketika para murid pertama-tama diminta untuk berpartisipasi secara aktif, bisa saja mereka memberikan reaksi yang lamban ketika hendak memulai tugas dan membayangkan dinamika kelas.
- Terkadang model SCM ini tampak kacau, yaitu ketika para murid mengawali pekerjaan dalam kelompok kecil, suasana kelas menjadi hiruk-pikuk dan guru harus tetap merasa nyaman dengan kenyataan bahwa para murid melakukan kesalahan yang tidak terdengar atau tidak diperbaiki.
- SCM seakan-akan justeru suatu hal yang buruk, karena model ini menjadikan kelas berisik dan guru tidak dapat mengendalikan kelas.
Poin terakhir ini cukup penting. Sebetulnya, dalam kelas yang menggunakan SCM yang efektif, guru telah merencanakan isi semua aktivitas, telah mengalokasikan waktu yang terbatas buat mereka, dan telah mempersiapkan mereka dalam konteks penggunaan bahasa yang sesuai dengan model yang disiapkan oleh guru. Guru tidak selalu menjadi pusat perhatian, tetapi tetap berfungsi sebagai pengendali kegiatan belajar murid.
4. Tips Sukses Penggunaan SCM
a. mengubah paradigma guru menjadi fasilitator pembelajaran,
b. komitmen guru dalam menyediakan waktu dan tenaga untuk membelajarkan peserta didik tentang berbagai materi pengetahuan,
c. kesediaan guru untuk mencoba menerapkan pendekatan baru dalam mengelola kelas, dan melihat secara kritis usaha penerapan pembelajaran yang berfokus pada peserta didik,
d. inisiatif guru untuk bergabung dengan kelompok masyarakat pengembang strategi pembelajaran yang berfokus pada peserta didik.
II. Penutup
Dari paparan di atas, dapat disumpulkan:
- Peranan baru yang pertama bagi guru yang menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik adalah (1) memahami dan mengetahui secara jelas kearah mana peserta didik secara kognitif dikehendaki akan berkembang. Dalam hal ini, guru hendaknya mengetahui tingkat kemampuan berpikir yang dituntut untuk dikembangkan oleh peserta didik selama kegiatan pembelajaran berlangsung, (2) menggunakan analogi dan metafor, (3) mengembangkan mekanisme yang tidak berbahaya dan juga tidak menakutkan untuk terjadinya dialog tidak langsung antara guru dan peserta didik.
- Peranan guru yang kedua adalah mengembangkan pertanyaan yang bersifat "memaksa" peserta didik untuk menguraikan apa yang sebenarnya sedang mereka pelajari. Hendaknya guru benar-benar menghindarkan pertanyaan, seperti "Apakah ada pertanyaan?". Guru hendaknya juga memberikan berbagai kesempatan kepada peserta didik untuk membuat kesimpulan/dan atau menjelaskan materi yang baru saja selesai dibahas. Peserta didik juga haruslah dikondisikan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat penetrasi.
- Peranan ketiga dari guru adalah menggunakan alat/sarana visual untuk membantu peserta didik agar dapat "melihat" bagaimana informasi dapat dihubungkan dan mengajarkan kepada peserta didik cara-cara penggunaan sarana/alat visual.
- Peranan keempat yaitu mendorong pembentukan kelompok-kelompok belajar dan memfungsikannya. Kelompok belajar dapat dibentuk dalam berbagai bentuk tergantung pada besarnya kelas, mata pelajaran, dan pendapat/pemikiran guru.

Kamis, 29 April 2010

KEGAGALAN GURU DALAM MELAKUKAN EVALUASI

Kalau kita perhatikan dunia pendidikan, kita akan mengetahui bahwa setiap jenis atau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan evaluasi. Artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik. 

Demikian pula dalam satu kali proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.

Dengan menelaah pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan atau sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar.

Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.

Khusus untuk mata pelajaran matematika hampir semua guru telah melaksanakan evaluasi di akhir proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun hasil yang diperoleh kadang-kadang kurang memuaskan. Kadang-kadang hasil yang dicapai dibawah standar atau di bawah rata-rata.

Pada mata pelajaran yang lainnya kadang dilaksanakan pada akhir pelajaran, dan ada juga pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Kapan waktu pelaksanaan evaluasi tersebut tidak menjadi masalah bagi guru yang penting dalam satu kali pertemuan ia telah melaksanakan penilaian terhadap siswa di kelas.

Tetapi ada juga guru yang enggan melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran, karena keterbatasan waktu, menurut mereka lebih baik menjelaskan semua materi pelajaran sampai tuntas untuk satu kali pertemuan, dan pada pertemuan berikutnya di awal pelajaran siswa diberi tugas atau soal-soal yang berhubungan dengan materi tersebut.

Ada juga guru yang berpendapat, bahwa penilaian di akhir pelajaran tidak mutlak dengan tes tertulis. Bisa juga dengan tes lisan atau tanya jawab. Kegiatan dirasakan lebih praktis bagi guru, karena guru tidak usah bersusah payah mengoreksi hasil evaluasi anak. Tetapi kegiatan ini mempunyai kelemahan yaitu anak yang suka gugup walaupun ia mengetahui jawaban dari soal tersebut, ia tidak bisa menjawab dengan tepat karena rasa gugupnya itu. Dan kelemahan lain tes lisan terlalu banyak memakan waktu dan guru harus punya banyak persediaan soal. Tetapi ada juga guru yang mewakilkan beberapa orang anak yang pandai, anak yang kurang dan beberapa orang anak yang sedang kemampuannya utnuk menjawab beberapa pertanyaan atau soal yang berhubungan dengan materi pelajaran itu.

Cara mana yang akan digunakan oleh guru untuk evaluasi tidak usah dipermasalahkan, yang jelas setiap guru yang paham dengan tujuan dan manfaat dari evaluasi atau penialaian tersebut.

Karena ada juga guru yang tidak mengiraukan tentang kegiatan ini, yang penting ia masuk kelas, mengajar, mau ia laksanakan evaluasi di akhir pelajaran atau tidak itu urusannya. Yang jelas pada akhir semester ia telah mencapai target kurikulum.

Akhir-akhir ini kalau kita teliti di lapangan, banyak guru yang mengalami kegagalan dalam melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran. Hal ini tentu ada faktor penyebabnya dan apakah cara untuk mengatasinya.

Penulisan makalah kritikan ini bertujuan untuk mengkritik kegagalan persekolah oleh guru dalam melakukan evaluasi di akhir pelajaran. Mencari faktor penyebabnya dan cara untuk mengatasinya.

Dalam makalah kritikan ini pembatasan masalahnya adalah :

- Kondisi permasalahan evaluasi di akhir pelajaran dipersekolahan pada saat ini
- Telaah teori/pendapat ahli
- Kegagalan pelaksanaan evaluasi di akhir pelajaran
- Kesimpulan kritikan dan saran

Menurut Drs. Moh. Uzer Usman dalam bukunya (Menjadi Guru Profesional hal 11) menyatakan bahwa :

Tujuan penilaian adalah :

1. Untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan
2. Untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran
3. Untuk mengetahui ketepatan metode yang digunakan
4. Untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelompok/kelas
5. Untuk mengaklasifikasikan seorang siswa apakah termasuk dalam kelompok yang pandai, sedang, kurang atau cukup baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.

Dan menurut buku Mengukur Hasil Belajar (hal 72-74) yang di susun oleh Drs. Azhari Zakri menyatakan evaluasi bermanfaat bagi guru untuk :

1. Mengukur kompetensi atau kapabalitas siswa, apakah mereka telah merealisasikan tujuan yang telah ditentukan.

2. Menentukan tujuan mana yang belum direalisasikan sehingga dapat menentukan tindakan perbaikan yang cocok yang dapat diadakan

3. Memutuskan ranking siswa, dalam hal kesuksesan mereka mencapai tujuan yang telah disepakati.

4. Memberikan informasi kepada guru tentang cocok tidaknya strategi mengajar yang digunakan.

5. Merencanakan prosedur untuk memperbaiki rencana pengajaran dan menentukan apakah sumber belajar tambahan perlu digunakan.

6. Memberikan umpan balik kepada kita informasi bagi pengontrolan tentang sesuai tidaknya pengorganisasian belajar dan sumber belajar.

7. Mengetahui dimana letak hambatan pencapaian tujuan tersebut.

Atas dasar ini, faktor yang paling penting dalam evaluasi itu bukan pada pemberian angka. Melainkan sebagai dasar feed back (catu balik). Catu balik itu sendiri sangat penting dalam rangka revisi. Sebab proses belajar mengajar itu kontinyu, karenanya perlu selalu melakukan penyempurnaan dalam rangkan mengoptimalkan pencapaian tujuan.

Bila evaluasi merupakan catu balik sebagai dasar memperbaiki sistem pengajaran, sesungguhnya pelaksanaan evaluasi harus bersifat kontinyu. Setiap kali dilaksanakan proses pangajaran, harus dievaluasi (formatif). Sebaliknya bila evaluasi hanya dilaksanakan di akhir suatu program (sumatif) catu balik tidak banyak berarti, sebab telah banyak proses terlampaui tanpa revisi.

Oleh karena itu, agar evaluasi memberi manfaat yang besar terhadap sistem pengajaran hendaknya dilaksanakan setiap kali proses belajar mengajar untuk suatu topik tertentu. Namun demikian evaluasi sumatif pun perlu dilaksanakan untuk pengembangan sistem yang lebih luas.

Dari tujuan dan manfaat evaluasi yang di atas, masih ada pendapat lain dari manfaat evaluasi seperti yang dikemukakan oleh Noehi Nasution dalam bukunya Materi Poko Psikologi Pendidikan hal 167, menjelaskan bahwa kegiatan penilaian tidak hanya untuk mengisi raport anak didik, tetapi juga untuk :

1. Menseleksi anak didik
2. Menjuruskan anak didi
3. Mengarahkan anak didik kepada kegiatan yang lebih sesuai denganpotensi yang dimilikinya.
4. Membantu orang tua untuk menentukan hal yang paling baik untuk anaknya, untuk membina dan untuk mempersiapkan dirinya untuk masa depan yang lebih baik.

Dari tujuan dan manfaat evaluasi yang telah diikemukakan oleh para ahli di atas, yang penting dengan mengadakan evaluasi sebagai guru dapat mengetahui kelemahan-kelemahan atau kekurangannya dalan menyampaikan materi pelajaran. Sehingga ia dapat menata kembali atau menggunakan strategi baru dalam proses pembelajaran sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

Di dalam telaah teori dan berdasarkan pendapat para ahli, telah mencantumkan tujuan serta manfaat evaluasi di akhir pelajaran. Selain menilai hasil belajar murid, evaluasi juga menilai hasil mengajar guru dengan kata lain, guru dapat menilai dirinya sendiri dimana kekurangan dan kelemahannya dalam mengajar, sehingga memperoleh hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan.

Jika dalam suatu kegiatan belajar, tujuan sudah diidentifikasi, biasanya dapat disusun suatu ters atau ujian yang akan digunakan untuk menentukan apakah tujuan tersebut dicapai atau tidak. Mager pernah mengatakan bahwa jika kita mempelajari dengan teliti semua tahap yang telah dibicarakan sampai saat ini, maka siswa sudah harus dapat melakukan apa yang telah direncanakan untuk mereka lakukan. Hasil dari penialaian dapat mendorong guru untuk memperbaiki keterampilan profesional mereka, dan juga membantu mereka mendapat pasilitas serta sumber belajar yang lebih baik.

Di dalam suatu tes belajar, sebagian besar nilai berdistribusi normal (yakni beberapa murid hasilnya baik, beberapa buruk, tetapi sebagian besar menunjukkan rata-rata). Dalam ter kriteria, sebagian tes berada di bagian atas. Hal ini lumrah, karena jika seorang guru memberikan tujuan yang berjumlah 10, misalnya, maka ia akan kecewa jika para siswa hanya merealisasikan 50% saja.

Tes dan ujian yang mengukur pencapaian tujuan, belum mendapat perhatian yang serius oleh guru dan instruktur, kecuali akhir-akhir ini. Program pendidikan dan latihan sebelum ini telah dianggap sudah berhasil tanpa perlu ada evaluasi. Sikap ini disebabkan oleh empat kesulitan utama yakni :

1. Tidak adanya kerangka konseptual yang sesuai bagi evaluasi.
2. Kurangnya ketepatan dalam perumusan tujuan dalam pendidikan
3. Kesulitan yang meliputi pengukuran pendidikan
4. Sifat program pendidikan itu sendiri.

Namun dengan adanya investasi besar-besaran dalam pendidikan, telah dirasakan kebutuhan akan suatu bentuk evaluasi.

Evaluasi dapat mengambil dua macam bentuk :

1. Ia dapat menilai cara mengajar seorang guru (dengan mengukur variabel-variabel seperti suatu kebiasaan-kebiasaan, humor, kepribadian, penggunaan papan tulis, teknik bertanya, aktivitas kelas, alat bantu audiovisual, strategi mengajar dan lain-lain.

2. Ia dapat menilai hasil belajar (yakni pencapaian tujuan belajar.

Selama ini guru mengadakan penilaian hanya untuk mencari angka atau nilai untuk anak didik. Apabila anak banyak memperoleh nilai dibawah 6 (enam), maka guru menganggap bahwa anak didiklah yang gagal dalam menyerap materi pelajaran atau materi pelajaran terlalu berat, sehingga sukar dipahami oleh anak. Kalau anak yang memperoleh nilai dibawah 6 mencapai 50% dari jumlah anak, hal ini sudah merupakan kegagalan guru dalam melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran.

Apa penyebab hal ini bisa terjadi ?

1. Guru kurang menguasi materi pelajaran.
Sehingga dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak kalimatnya sering terputus-putus ataupun berbelit-belit yang menyebabkan anak menjadi bingung dan sukar mencerna apa yang disampaikan oleh guru tersebut.
Tentu saja di akhir pelajaran mareka kewalahan menjawab pertanyaan atau tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan. Dan akhirnya nilai yang diperoleh jauh dari apa yang diharapkan.
2. Guru kurang menguasai kelas,
Guru yang kurang mampu menguasai kelas mendapat hambatan dalam menyampaikan materi pelajaran, hal ini dikarenakan suasana kelas yang tidak menunjang membuat anak yang betul-betul ingin belajar menjadi terganggu.
3. Guru enggan mempergunakan alat peraga dalam mengajar.
Kebiasaan guru yang tidak mempergunakan alat peraga memaksa anak untuk berpikir verbal sehingga membuat anak sulit dalam memahami pelajaran dan otomatis dalam evaluasi di akhir pelajaran nilai anak menjadi jatuh.
4. Guru kurang mampu memotivasi anak dalam belajar sehingga dalam menyampaikan materi pelajaran, anak kurang menaruh perhatian terhadap materi yang disampaikan oleh guru, sehingga ilmu yang terkandung di dalam materi yang disampaikan itu berlalu begitu saja tanpa ada perhatian khusus dari anak didik.
5. Guru menyamaratkan kemampuan anak di dalam menyerap pelajaran.
Setiap anak didik mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menyerap materi pelajaran. Guru yang kurang tangkap tidak mengetahui bahwa ada anak didinya yang daya serapnya di bawah rata-rata mengalami kesulitan dalam belajar.
6. Guru kurang disiplin dalam mengatur waktu.
Waktu yang tertulis dalam jadwal pelajaran, tidak sesuai dengan praktek pelaksanaannya,. Waktu untuk memulai pelajaran selalu telat, tetapi waktu istirahat dan jam pulang selalu tepat atau tidak pernah telat.
7. Guru enggan membuat persiapan mengajar atau setidaknya menyusun langkah-langkah dalam mengajar, yang disertai dengan ketentuan-ketentuan waktu untuk mengawali pelajaran, waktu untuk kegiatan proses dan ketentuan waktu untuk akhir pelajaran.
8. Guru tidak mempunyai kemajuan untuk nemambah atau menimba ilmu misalnya membaca buku atau bertukar pikiran dengan rekan guru yang lebih senior dan profesional guna menambah wawasannya.
9. Dalam tes lisan di akhir pelajaran, guru kurang trampil mengajukan pertanyaan kepada murid, sehingga murid kurang memahami tentang apa yang dimaksud oleh guru.
10. Guru selalu mengutamakan pencapaian target kurikulum.
Guru jarang memperhatikan atau menganalisa berapa persen daya serap anak terhadap materi pelajaran tersebut

DAFTAR PUSTAKA 

Uzer Usman, Mohd. Menjadi Guru Profesional 
Mengukur Hasil Belajar, bahan ajar yang disusun oleh Drs. Azhari Zakri Dosen FKIP UNRI
Nasution, Noehi. Materi Pokok Psikologi Pendidikan 
Guru dan Proses Belajar Mengajar. Bahan ajar yang disusun oleh Drs. Azhari Zakri dosen FKIP UNRI

POTRET DUNIA PENDIDIKAN; Menakar Sumber Daya Manusia Indonesia

Bum! Dentuman bom atom yang jatuh di Nagasaki dan Hiroshima, Jepang, pada tahun 1945 itu pun menjadi catatan sejarah dunia. Jepang porakporanda. Bertepatan dengan tahun yang sama di Indonesia, tepatnya 17 Agustus 1945, bangsa kita merayakan kemerdekaan sebagai tanda lepasnya dari tangan penjajahan. Negara Jepang hancur, Indonesia merdeka. Logika berbicara, negara yang cepat maju karena lebih awal berkesempatan membangun diri tentu bangsa kita, Indonesia. Api jauh dari panggang, realita menunjukkan fakta sebaliknya, saat ini Jepang lebih unggul membangun diri dan jauh meninggalkan Indonesia.

Kunci kesuksesan negara Jepang membangun diri adalah, peduli terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia dengan cara memperhatikan pendidikan masyarakatnya. Langkah awal yang dilakukan pemerintah Jepang pascabom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) pada tahun 1945 itu adalah, mengirim pelajar-pelajar Jepang ke luar negeri untuk belajar dengan misi membangun Jepang kembali. Buku-buku barat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang agar mempermudah transfer ilmu pengetahuan dan teknologi barat. Kemudian buku-buku pengetahuan itu dijual dengat sangat murah sehingga mempermudah masyarakat memperolehnya. Dari situ timbullah kegemaran membaca pada sebagian besar masyarakat Jepang.

Jepang sadar betul ujung tombak pendidikan adalah guru. Maka pemerintah dan masyarakat Jepang sangat menghargai sosok seorang guru, baik secara finansial maupun moral. Bayangkan untuk guru yang baru mengajar saja Jepang berani memberi honor sebesar 200 ribu yen atau sekitar Rp16 juta per bulan. Dan untuk guru honor senior di Jepang gajinya bisa mencapai 500 ribu yen atau sekitar Rp40 juta. Tidak heran bila dedikasi tercurah penuh terhadap profesi guru karena kerja mereka dihargai secara pantas. Robert C. Christopher, mantan koresponden majalah Newsweek yang tinggal di Jepang pernah berujar, "lihatlah sikap para guru Jepang, perhatian mereka sampai ke totalitas kehidupan murid mereka".

Bagaimana di Indonesia? 

Pendidikan masyarakat Indonesia jauh tertinggal. Hal ini didukung oleh kurangnya perhatian pemerintah. Kalaupun ada perhatian namun tidak dikelola secara serius dan profesional. Di tambah pula proses manajemen yang tidak transparan dan kebijakan yang tidak tepat sasaran, semakin membuat dunia pendidikan bangsa kita dirundung persoalan. Tak heran, kalau bicara tentang pendidikan nasional terkesan selalu yang buruk-buruknya saja.

Setiap ada perubahan menteri, persoalan yang hangat diperbincangkan selalu berkutat pada masalah undang-undang, kurikulum, kebijakan ujian, insensif para guru dan keterbatasan anggaran. Namun demikian kebijakan yang diambil selalu saja mengecewakan. Padahal negara kita dianggap salah satu negara yang memiliki sumber daya alam yang memadai sebagai modal utama untuk membangun negara. Namun kenyataannya kemiskinan dan pengangguran tetap mejadi musuh utama serta terus merasa kurang dalam pendanaan. Kita mungkin sudah lupa bahwa kemajuan sebuah bangsa terletak dari baik-buruknya kualitas manusia atau indeks pembangunan manusianya. Hal inilah yang disadari betul oleh negara Jepang sehingga mampu menjawab persoalan dan bangkit dari keterpurukannya terutama pasca perang dunia II.

Jhon Neisbitt dalam bukunya Mega trend 2000 mengingatkan kita dengan mengatakan: "Suatu negara miskin pun bisa bangkit, bahkan tanpa sumber daya alam yang melimpah ruah, asalkan negara yang bersangkutan melakukan investasi yang cukup, yaitu dalam hal kualitas sumber daya manusianya".

Bagaikan lingkaran setan 

Rendahnya perhatian pemerintah akan perlunya pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas menyebabkan terjadinya kemerosotan di dunia pendidikan. Akibatnya, terjadi peningkatan kemiskinan dan pengangguran yang disusul merebaknya tindakan kejahatan di tengah masyarakat. Kebodohan menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan terhalangnya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Karena tidak berpendidikan dan tidak memiliki pengalaman apapun, menjadi pengangguran dan melakukan tindakan deviant (menyimpang). Kebodohan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan tindak kejahatan, begitulah seterusnya bagaikan lingkaran setan.

Tidak heran bila persoalan kemiskinan ini pulalah yang dianggap sebagai permasalahan utama yang harus dihadapi oleh negara-negara Asia-Afrika ke depan, sebagaimana yang disampaikan oleh sejumlah pemimpin negara yang ikut dalam peringatan ke-50 tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KAA) yang belum lama ini diselenggarakan di Jakarta.

"Lingkaran setan" di lembaga dunia pendidikan itu, begini ceritanya. Ada tuduhan yang menyebabkan rendahnya mutu mahasiswa Indonesia disebabkan Perguruan Tinggi (PT) yang tak berkualitas. PT lalu menyalahkan sekolah menengah tingkat atas (SMA) yang tidak becus memproduksi calon mahasiswa. Pihak SMA kemudian menyalahkan sekelohah menengah tingkat pertama (SMP) yang tak berhasil mendidik muridnya. Pihak SMP pun menyalahkan sekolah tingkat dasar (SD) yang tak becus mendidik anak-anaknya. Lalu pihak SD pun menuduh pihak PT tidak becus memproduksi calon guru yang berkualitas dalam mengajar. Begitulah seterusnya bagaikan lingkaran setan. Sebuah dilema. Memang.

Menakar SDM Indonesia 

Ada beberapa faktor yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan dalam pendidikan. Faktor-faktor itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, faktor perangkat keras (hardware), yang meliputi ruangan belajar, peralatan praktik, laboratorium, perpustakaan; kedua, faktor perangkat lunak (software) yaitu meliputi kurikulum, program pengajaran, manajemen sekolah, sistem pembelajaran; ketiga, apa yang disebut dengan perangkat pikir (brainware) yaitu menyangkut keberadaan guru (dosen), kepala sekolah, anak didik, dan orang-orang yang terkait di dalam proses pendidikan itu sendiri.

Dari tiga kelompok faktor di atas, maka yang menjadi penentu suksesnya belajar dan berhasilnya suatu pendidikan sangat (dominan) ditentukan oleh faktor tenaga pendidik, dalam hal ini guru di sekolah dan para dosen di Perguruan Tinggi. Meskipun di suatu sekolah dan perguruan tinggi fasilitasnya memadai, bangunannya bertingkat; meskipun kurikulumnya lengkap, program pengajarannya hebat, manajemennya ketat, sistem pembelajarannya oke, tapi para tenaga pengajarnya (guru/dosen) sebagai aplikator di lapangan tidak memiliki kemampuan (kualitas) dalam penyampaian materi, cakap menggunakan alat-alat tekhnologi yang mendukung pembelajaran, maka tujuan pendidikan akan sulit dicapai sebagaimana semestinya. Mantan Mendikbud, Fuad Hassan, pernah mengingatkan, bahwa tanpa guru yang menguasai materinya mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana yang diidealkan.

Tingkat kenerja dan kualitas para tenaga pendidik (guru atau dosen) di Indonesia pernah menjadi sorotan. Seperti studi yang dilakukan Asia Week dalam Asia's Best Universities 2000. Studi tersebut membuktikan bahwa kualitas dosen di Indonesia masih sangat rendah dan belum memadai. Dari 77 perguruan tinggi terbaik di kawasan Asia dan Australia, ternyata kualitas dosen Universitas Indonesia (UI) Jakarta hanya menempati urutan ke-62. Selanjutnya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang di peringkat ke-76, dan paling 'kincik' adalah UGM Yogyakarta dengan peringkat ke-77. Rendahnya mutu kualitas guru dan dosen kita, menurut Prof. Dr. Ki Supriyoko (Kompas, 2002) disebabkan oleh belum tumbuhnya kebiasaan membaca dikalangan guru dan dosen itu sendiri.

Sikap guru
Di samping faktor penyebab rendahnya kualitas tenaga pendidik di atas, apa yang disebut dengan "On going Formation" terhadap guru penerapannya juga dinilai salah kaprah selama ini. Menurut ahli pendidikan, J Drost (2002), on going formation bermakna "kegiatan membentuk atau mewujudkan". Maksudnya, membentuk atau mewujudkan mutu guru secara terus menerus sebagai guru. Kegiatan on going formation selama ini oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dilaksanakan lewat penataran. Namun apa yang diberikan dalam penataran itu biasanya bukan yang dibutuhkan guru. Di tambah lagi penatarnya yang tidak lebih bermutu pengetahuannya dan juga tidak lebih lama pengalamannya dari para petatar. Kesan yang timbul, penataran yang sering dilakukan buat guru hanya sekedar menutupi kekurangan karena studi yang tidak beres.

Oleh sebab itu kata J Drost, on going formation yang amat berguna ialah pengalaman, bukan rutin mati di depan kelas; bukan sibuk dengan buku pegangan. Pengalaman adalah hasil sikap tanggap atas setiap kejadian yang terjadi disekitar lingkungannya selama 24 jam sehari, dan mengelolanya menjadi milik mental. Yaitu dengan cara mencari kesempatan untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Hal itu bisa ditempuh oleh seorang guru melalui surat-surat kabar, majalah-majalah, buku-buku, dan bahan bacaan lainnya, menghadiri seminar-seminar atau loka karya yang berguna baginya sebagai pengajar dan pendidik.

Yang lucunya, banyak guru dan dosen yang menyuruh anak didiknya membaca dan rajin ke pustaka, tetapi guru dan dosennya sendiri jarang membaca ke pustaka. Seakan-akan pustaka hanya milik siswa dan mahasiswa. Ironisnya, kata Prof. Dr. Ki Supriyoko, ada dosen yang malu ke pustaka karena takut dikatakan bodoh oleh mahasiswanya. Bila diteliti, jarang ada bacaan yang bermutu di ruang kerja para guru dan dosen, di rumah terlebih lagi di sekolah.

Ada satu pengalaman dari hasil pengamatan penulis ketika melaksananakan Praktek Pengajaran Lapangan (PPL) beberapa tahun yang lalu (2002) di Pekanbaru. Di mana, guru di sekolah lebih banyak membawa bekal makan siang ketimbang mengisi tas dengan buku bacaan atau majalah. Begitu juga di ruang kerja para dosen di kampus-kampus, yang sering ditemukan cuma televisi, onggokan skripsi, beberapa tropi, serta secangkir teh dan kopi.

Sehingga untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pengajaran di sekolah-sekolah atau di PT-PT saja, acapkali kita mendatangkan tenaga kependidikan dari luar negeri. Kasus Riau misalnya, pernah diberitakan bahwa daerah Bengkalis mengontrak para guru Malaysia untuk mengajar di bidang eksakta dan Bahasa Inggris. Padahal dahulunya, negara Malaysialah yang meminta para guru kita untuk mengajar di sekolah-sekolah mereka. Ironis! Inilah kenyataannya, bahwa kualitas tenaga pendidik kita, suka tak suka kita akui memang jauh tertinggal.

Rendahnya kualitas atau ke-profesionalan tenaga pendidik dapat memberi dampak kepada sikap dan cara mereka selama proses pengajaran dan pendidikan berlangsung. Para guru demikian pula dosen sering ingin "menjadi dirinya sendiri". Maksud penulis, yaitu guru dan dosen yang tidak mau memahami realitas yang ada diluar dirinya. Guru dan dosen seperti ini sering menggunakan senjata "nilai" ketika menghadapi anak didik dan menunjukan sikap wibawa yang terlalu dipaksa. Guru dan dosen seperti ini tidak mampu memahami realitas secara objektif, dan acapkalai memaksakan kehendaknya. Sehingga antara mereka dan anak didik tidak terjalin suatu dealetika yang harmonis. Tanpa disadari semua itu telah menjauhkan diri mereka dari hati nurani para anak didik.

Hal ini yang diistilahkan oleh Paulo Freire (1999) dengan pendidikan "gaya bank". Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme antara guru dan murid, yaitu: Guru mengajar, murid belajar; Guru tahu segalanya, murid tak tahu apa-apa; Guru berpikir, murid dipikirkan; Guru bicara, murid mendengarkan; Guru mengatur, murid diatur; Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya; dan sebagainya. Hal demikian sering terjadi di dunia pendidikan kita. Guru dan dosen menjelma menjadi manusia "asing" bukan lagi sebagai fartner murid-murid dalam proses belajar mengajar yang demokratis dan membebaskan.

Belum lama ini beberapa kepala sekolah dan beberapa pihak anggota dinas pendidikan di salah satu Kabupaten di Riau mengadakan studi banding tentang KBS dan KBK di tiga negara yaitu Malaysia, Thailand, dan Singapura. Yang lucu ketika pulang dari tiga negara yang dikunjungi itu ternyata sebagian guru cuma membawa mainan kunci, salak pondo, dan mangga yang diawetkan ke sekolahnya. Kan mendingan sebuah buku atau cerita kiat sukses pendidikan di negara-negara itu sambil membuat laporannya dalam bentuk tulisan di media massa ketimbang membawa mainan kunci?

Sederet kisah perilaku tenaga pendidik kita ternyata belum usai. Di perguruan tinggi terutama dalam proses pembuatan skripsi, ada sebagian dosen pembimbing yang acuh, bahkan ada yang berkata kepada mahasiswa bimbingannya: "Saya butuh kamu atau kamu butuh saya!". Sehingga dosen yang jarang tampak di kampus itu harus ditunggu dan dicari ke sana-sini. Bukankah seharusnya, sebagai dosen pembimbing sebaiknya mempermudah urusan skripsi yang dibuat sebagai rasa tanggung jawab terhadap amanah.

Persoalan ini pernah disinggung (atau diakui) oleh Ali Khomsan (guru besar IPB) dalam tulisannya Strategi Percepatan Pendidikan Pascasarjana (Republika, 13 Februari 2002). Ali mengatakan, salah satu kelemahan dalam proses pembimbingan mahasiswa selama ini, adalah kurangnya monitoring dosen pembimbing terhadap mahasiswanya. Seolah-olah mahasiswa sendiri yang harus bertanggung jawab apakah ingin lulus tepat waktu atau mau berlama-lama di kampus. Kalau mahasiswa tidak datang kepadanya, dosen merasa tidak rugi karena justru waktunya bisa digunakan untuk kegiatan yang lain. Padahal, kemampuan meluluskan mahasiswa secara tepat waktu adalah komitmen yang harus dipegang oleh semua dosen pembimbing.

Ali menceritakan pengalamannya ketika studi S3 di Amerika. Bahwa pembimbingnya rela mengendarai mobil sejauh 100 km untuk mengantarkannya ke suatu tempat untuk mencari data sekunder yang dibutuhkannya. Selanjutnya jadwal konsultasi selalu tepat waktu dan diberikan secara luas. Lalu bagaimana di Indonesia? Jangankan tepat waktu, jadwal untuk konsultasi saja terkadang tidak diberikan. Sehingga acapkali mahasiswa menunggu pembimbingnya berjam-jam di kampus.

Meningkatkan kualitas guru atau dosen dan memperhatikan kesejahteraan hidup para "Umar Bakri", adalah kunci lain untuk mencapai dunia pendidikan yang bermutu. Tesis ini diyakini oleh banyak negara, seperti Australia. Ketika para menteri pendidikan negara-negara bagian Australia berkumpul di Adelaide, mereka sepakat untuk konteks milinium ke-3 akan membangun bangsa dengan cara peningkatan kualitas pendidikan yang dimulai dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Oleh sebab itu di Australia guru sangat dihargai, dan gajinya sangat memadai. Sehingga banyak master dan doktor tidak malu-malu menjadi guru (bukan dosen) untuk mengajar di tingkat sekolah menengah atau sekolah dasar (SD) sekalipun. Begitu juga di Jepang, masyarakat dan pemerintahan Jepang sangat menghargai dan menghormati keberadaan guru di negaranya.

Musuh kita 

Kebodohan, kemiskinan, pengangguran dan tindak kejahatan adalah musuh utama kita dan persoalan besar. Oleh sebab itu harus ditangani secara 'besar', transparan, profesional, serta tepat sasaran. Terutama pada sektor pendidikan. Bila tidak peningkatan kualitas manusia ini dan usaha mencapai ke arah itu akan tetap berjalan ditempat. Kemudian teknologi dan informasi, atau penyediaan infrastruktur seperti kelancaran jalan dan komunikasi, adalah persoalan besar pula. Sebab itu, aspek ini sesekali jangan pula diabaikan. Bila diabaikan kita akan kembali berada dalam sebuah "lingkaran setan" yang menyesatkan. Semoga tidak. Wallahua'lam.

BAGAIMANA MEMBERIKAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK-ANAK ANDA?

Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. Warisan alami yang dibawa setiap jiwa ke bumi; hampir semua sikap buruk yang diperlihatkan manusia apa adanya merupakan apa-apa yang didapatkan setelah mereka dilahirkan kebumi. Ini menunjukkan bahwa kebaikan itu bersifat alami sementara kejahatan tidak alami.

Berfikir luas tentang kehidupan yang berkaitan dengan anak bukan hal yang mudah. Namun kita harus ingat bahwa orang dewasa sering menyepelekan kapasitas pikiran seorang anak, yang sebetulnya seringkali lebih berkeinginan untuk mengerti dan lebih mampu memahami sesuatu daripada seorang dewasa. Meskipun Anda tidak bisa memulai pendidikan anak dengan subyek yang mendalam, anda dapat selalu menyimpan desain besar yang Anda lihat dan ingin Anda raih dihadapan Anda.

Ada kesalahan terbesar pendidkan modern, dengan segala metode melatih anak yang mutakhir, adalah telah kehilangan sesuatu yang paling penting, yaitu: pelajaran tentang sifat tidak mementingkan diri sendiri. Orang mungkin berfikir bahwa seseorang yang tidak mementingkan diri sendiri tidak akan mampu untuk menjaga kepentingan hidupnya sendiri; akan tetapi dalam kenyataan nampaknya tidak demikian. Orang yang mementingkan dirinya sendiri mengecewakan orang lain dan pada akhirnya merugikan dirinya sendiri. Manusia itu bebas, saling tergantung satu dengan yang lainnya, dan kebahagiaan setiap orang tergantung pada kebahagiaan semuanya. Pelajaran inilah yang harus dipelajari orang-orang sekarang sebagai pelajaran pertama sekaligus terakhir.

Manusia merupakan hasil seluruh ciptaan, sumber keindahan yang nyata. Tujuan penciptaan adalah keindahan. Oleh karena itu, jelas bahwa tujuan hidup adalah untuk berkembang ke arah keindahan. Alam, dalam semua aspeknya yang beraneka, berkembang menuju keindahan. Oleh karena itu, jelas bahwa tujuan hidup adalah untuk berkembang ke arah keindahan. Dalam mendidik anak, pertimbangan pertama haruslah bahwa benih keindahan ditebarkan dalam hati mereka. Saat tanaman itu tumbuh dia harus dirawat dengan sabar. Kesuburan tanaman itu menjadi kebanggaan orang yang menanamnya sehingga perkembangan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya. Orang tua harus belajar untuk menjadi contoh bagi anak-anak mereka. Tidak ada teori yang dapat mendatangkan pengaruh jika tidak disertai praktik. Wajar jika orang tua berharap anak-anak mereka berbeda dan lebih baik dari mereka.

Pelajaran pertama yang dibutuhkan seorang anak adalah menyelaraskan pemikiran, perkataan, dan tindakannya. Segala hal dalam kehidupan ini, lahir-batin, luar-dalam saling bereaksi. Oleh karena itu, sedikit pengetahuan tentang nada dan irama penting di awal pendidikan anak. Anak harus diajari unsur-unsur musik mengenai pola titi nada yang akan menghubungkannya dengan teman-teman, dengan orang-orang yang belum ia kenal, dengan orang tuanya, ketika bermain atau berada di satu meja yang sama; dalam kondisi yang bervariasi ia harus bisa merasakan pola titi nada berbeda. Anak harus diajari bagaimana membuat pilihan kata-kata saat berbicara kepada orang-orang yang berlainan, kepada orang asing, kepada teman-temannya, kepada pelayan dirumah, membuat suara lebih keras atau lebih lembut harus dilakukan dengan pemahaman. Seorang anak harus diajari untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan kondisi yang berlaku pada saat itu. Tertawa pada saatnya tertawa, serius pada saat keseriusan dibutuhkan. Dalam segala hal yang dilakukannya, ia harus mempertimbangkan dan memikirkan kondisi yang ada.

Pikiran anak lebih aktif daripada orang dewasa, untuk dua alasan. Yang pertama, pikiran anak tumbuh dengan energi yang besar, yang membuatnya aktif selama masa pertumbuhannya, karena itu anak selalu tidak tenang baik dalam pikiran maupun dalam tindakan. Seorang anak di satu ruangan dapat membuat orang merasa ada seratus anak di sana. Anak tidak pernah diam, ia senang menggunakan mental dan energi fisiknya dengan berbagai cara sepanjang waktu.

Untuk menjadi perhatian agar pendidikan untuk anak-anak harus dipertimbangkan dari lima sudut pandang yang berbeda: fisik, mental, moral, sosial, dan spiritual. Jika satu sisi berkembang dan sisi lainnya tidak, secara alami anak akan menunjukkan beberapa kekurangan dalam perkembangannya.

Dengan demikian, pemerintah sudah pasti bertanggung jawab atas pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan ini harus disusun sedemikian rupa sehingga baik orang miskin maupun kaya memiliki kesempatan yang sama dalam sebuah pembelajaran yang terdiri dari lima spek pendidikan yang disebut di atas. Ketika pembelajaran ini selesai, anak-anak bisa mengambil profesi apapun yang mereka sukai. Jika mereka menginginkan pendidikan lebih lanjut mereka bisa mendapatkannya dengan harta mereka sendiri jika mereka mampu (atau bantuan pendidikan yang bisa didapatkan dari pemerintah). Namun pendidikan yang penting harus diberikan kepada setiap anak oleh masyarakat. Pembelajaran pendidikan bisa diringkas dan dibuat menjadi pembelajaran pendidikan umum; anak tidak hanya harus diajari untuk membaca dan menulis, tapi juga untuk memiliki sebuah gagasan serba bisa dalam hidup dan bagaimana menjalani hidup yang paling baik baginya.

Pendidikan fisik dapat diberikan, bahkan sejak bayi, dengan bantuan musik. Seseorang bayi harus diusahakan untuk menggerakkan tangan dan kakinya ke atas dan ke bawah, dan saat ia tumbuh ia harus diajari untuk melakukannya secara ritmik. Ketika anak tumbuh, saat ia dapat menari dan memainkan beberapa permainan yang berbeda, gerak badan harus diajarkan. Dengan cara seperti ini anak-anak akan diuntungkan, mereka tidak merasa bosan dan menganggap ini sebagai rekreasi.

Di samping itu, makanan yang bersih dan bergizi diperlukan oleh anak saat ia tumbuh. Ia juga harus mendapatkan waktu tidur yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak. Bersamaan dengan itu, harus ada waktu yang dipakai untuk beristirahat, dan harus dilakukan dengan cara tertentu sehingga anak yang cendrung untuk selalu aktif akan merasa senang melakukan istirahat.

Seorang anak bagaikan tanaman yang sedang tumbuh. Tidak hanya makanan jasmani yang ia perlukan tapi juga makanan rohani. Makanan rohani yang paling baik adalah dengan mencintai anak dan membalas cintanya. Ia juga harus diajari keseimbangan, untuk menjaga agar emosinya selalu ada dalam batas dan wilayah tertentu. Anak harus diajari menggunakan kasih sayang melalui ungkapan yang manis dalam pemikiran, ucapan, dan tindakannya. Pemberian cinta yang salah akan merusak anak sehingga ia bersifat kasar, sombong, dan acuh tak acuh. Kita tidak boleh berlebihan dalam menunjukkan cinta kita kepada anak-anak.

Anak harus belajar untuk mengenal hubungan dan kewajibannya terhadap semua yang ada disekelilingnya. Kita harus membiarkan ia tahu apa yang diharapkan ayah, ibu, saudara perempuan, dan saudara laki-lakinya dari dirinya; karena mengenal hubungan satu sama lain merupakan tanda karakter manusia yang tidak ada pada binatang. Anak harus mengetahui bahwa ia bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya, bukan hanya kepada teman-temannya, tapi juga kepada seseorang yang melihatnya dengan terus menerus; bahwa sesulit apa pun keadilan yang ditegakkan di dunia, nanti ada saat dan tempat di mana keseimbangan keadilan akan menyeimbangkan segalanya. Kematian hanyalah sebuah jembatan yang harus dilalui setiap jiwa dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Anak harus dikenalkan dan di dekatkan pada sang pencipta alam semesta dan isinya yaitu Allah swt (Tuhan Yang Maha Esa)

Malas, Penghalang Kesuksesan

Malas, merupakan salah satu penyebab negara Indonesia ini tertinggal dengan negara lain khususnya hubungannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai contoh janganlah jauh-jauh dahulu ke Eropa, tapi yang dekat terlebih dahulu seperti Malaysia ataupun Singapura yang secara geografis luas negaranya maupun kekayaan alamnya jauh berbeda dengan Indonesia namun jauh berbeda pula dalam hal "manusianya", padahal dulu pelajar maupun guru-guru dari Malaysia datang ke Indonesia ini untuk belajar memperdalam ilmunya.

Malas bisa berarti banyak hal, malas belajar (umum terjadi pada pelajar) ataupun malas dalam lingkup yang universal yaitu malas dalam mengerjakan sesuatu Tapi memang rasa malas sudah merupakan fitrah dari Tuhan dan kita harus yakin bahwa pemberian Tuhan itu selalu ada manfaatnya, hanya saja permasalahannya terletak pada bagaimana kita mengatasi rasa malas tersebut, mencoba mengambil manfaat atau hikmah dari penanganan rasa malas kita dan belajar melihat dari sudut pandang yang lebih baik.

Malas itu bisa diibaratkan seperti keimanan kita yang ada kalanya meningkat dan ada kalanya menurun. Tapi ternyata kalau dilatih terus menerus dan teratur keimanan itu bisa meningkat atau setidaknya tidak menurun. Nah..begitupun dengan malas, dengan cara teratur diikuti dengan kekonsistenan kita mengerjakan metode atau cara mengatasi rasa malas, insyaallah rasa malas bisa di atasi dan bukan tak mungkin bisa berubah menjadi rajin..

Aku jadi terinspirasi oleh temanku yang mengatakan seperti ini, "wah..kalau ada yang nggak malas, hebatlah". Dari perkataan terdapat makna yaitu orang yang malas dengan yang rajin, yang sukses dengan yang gagal sama-sama menghabiskan waktu 24 jam perhari, yang membedakan hanyalah manajemen dan pemanfaatan waktu tersebut. Ada beberapa cara untuk mengatasi rasa malas, diantaranya ialah :

1. Banyak membaca 

Jenis bacaannya bisa bermacam-macam, buku, komik, novel ataupun majalah karena disini tidak mempermasalahkan dahulu apakah buku itu baik atau tidak untuk dibaca, tapi yang penting adalah benar terlebih dahulu, benar dalam rangka untuk membentuk kebiasaan dan sifat tidak malas karena nanti itu akan menjadi kepribadian dan karakter kita. Dampak dari membaca adalah kita akan berfikir lebih "jauh" dan akan merasa rugi jika membuat waktu kita tidak efektif dan terbuang dengan sia-sia karena telah terbiasa untuk selalu mengefektifkan waktunya dengan cara yang benar. DR. Aidh Al-Qarni dalam bukunya "La Tahzan" menuliskan "Berpengetahuan dan berwawasan luas, menguasai banyak teori keilmiahan, berfikir secara orisinil, memahami permasalahan dan argumentasi pijakannya adalah sedikit dari sekian bayak factor yang dapat membantu menciptakan kelapangan di dalam hati. Orang yang berpengetahuan luas adalah orang yang berfikiran bebas dan berjiwa teduh". Sedangkan untuk implementasi dari membaca bisa dengan mengajar, menulis, dll.

Setelah kita membaca yang benar, kemudian bertambah tingkatan menjadi baik sehingga menjadi "membaca yang benar dan baik". Baik disini mengandung arti membaca buku -buku yang bermanfaat dan baik tentunya seperti buku tentang pengembangan diri, ilmu pengetahuan maupun agama, bukan lagi buku seperti komik, novel , majalah, dsb. yang biasanya informasinya tidak berlaku untuk jangka waktu yang lama dan tentunya dari segi manfaat dan bobot isi berbeda dengan buku yang baik tadi.

Dan jika setelah membaca kita ingin mempunyai semangat, bacalah buku-buku tentang orang-orang yang sukses atau tokoh -tokoh terkenal, biasanya setelah membaca buku seperti itu, timbul semangat untuk maju dan ingin sukses seperti mereka atau bahkan melebihinya. Bukankah hidup ini harus selalu dinamis dan terus mengalami peningkatan seperti hadits yang sering kita dengar " Barang siapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka dia orang yang terlaknat, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dialah orang yang diridhai atau diberi rahmat oleh Allah".

2. Permainan pikiran. 

Pokoknya, ketika kita ingin melakukan sesuatu dan tiba-tiba rasa malas muncul, jangan pernah mengucapkan ataupun berpikiran negatif seperti "ah.cape nih, sepertinya tidak akan benar". Lebih baik berpikiran positif seperti "wah..sepertinya asyik nih.pasti rame, come on semangat..semangat,de el el. Karena bagimanapun juga energi yang digunakan untuk berpikiran yang negatif dengan positif itu adalah equal alias sama, jadi bukankah lebih baik apabila kita hanya memasukkan pikiran yang positif saja. Otak secara otomatis akan menerima perintah dan masukan dari kita. Kalau berpikiran malas, pasti rasanya malas terus, otak kita akan mencari alasan supaya kita menjadi malas. "Apa yang anda pikirkan akan menjadi kenyataan" (Quantum Learning). Kemudian jika kita melakukan sesuatu harus sesuai mood dan kalau tidak mood maka yang ada hanya malas, yakinlah tidak akan sempurna, seharusnya mood atau tidak, kerjakan saja. Justru mood itu datang saat kita sedang melakukan suatu kegiatan, bukan sebelum kegiatan tersebut akan dilakukan. Masalah penampakan mood itu hanya sebuah alasan sebagai persembunyian akan rasa malas tersebut. Jadi Intinya kerjakan saja dan selalu berpikiran positif, semua itu akan membuat hidup lebih hidup.. Rasa malas tidak akan pernah hilang jika kita terus berpikiran malas dan hanya menunggu malasnya hilang. Seperti slogan salah satu produk sepatu, Just Do It .!

3. Memiliki Tujuan

Hidup bisa diibaratkan dengan sebuah kapal laut dan kitalah nahkodanya. Kalau seorang nahkoda tidak punya tujuan dan tidak mempunyai kejelasan mau dibawa kemana kapal tersebut, maka kapak itu hanya akan terombang-ambing oleh ombak dan hanya mengikuti kemana air mengalir. Dengan tujuan kita punya impian dan akan mengerahkan upaya untuk mencapai tujuan tersebut sehingga rasa malas akan tersingkirkan.

Sangatlah rugi kalau hidup ini layaknya kapal tadi, hanya mengikuti kemana air mengalir, tidak punya suatu kejelasan. Hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan, seperti kata bijak "masa depan adalah apa yang kita lakukan pada hari ini". Terus kalau kita malas terus bisa ditebak bagaimana jadinya masa depan kita. Semakin banyak yang kita perbuat semakin nyatalah jati diri kita. Kemudian untuk mengatasi malas, kita juga harus selalu introspeksi diri sendiri supaya kita terus memperbaharui diri dan memperbaiki kesalahan yang kita perbuat. Dan jangan lupa juga untuk selalu berpikiran ke depan. Silakan malas malasan sekarang, tapi kita juga harus siap dan berani menanggung akibatnya suatu saat nanti, khan apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai. Ingat, kitalah pemimpin diri kita sendiri !.

4. Berdoa 

Meskipun dengan semangat yang menggebu, banyak membaca, dan terus mencari cara untuk menghilangkan malas, tetap saja kalau tanpa seizin -Nya, semua itu tidak akan pernah berhasil. Supaya kita tidak jadi orang yang sombong, banyak - banyaklah berdoa karena doa merupakan suatu pengharapan yang akan membuat kita selalu termotivasi khususnya secara psikologis. Kata - kata yang diucapkan dalam doa akan menjadi suatu pemikiran yang positif bagi kita. Lalu apa yang kita lakukan setelah kita berdoa ? jawabnya adalah ikhtiar. Kita tidak bisa hanya berdoa saja tanpa melakukan suatu upaya. Sebagai wujud tanggung jawab dari doa kita adalah kita bersungguh-sungguh berusaha mewujudkan doa tersebut. Setelah itu barulah kita bertawakkal yang berarti menyerahkan setiap urusan kepada - Nya. Kita harus sadar bahwa kita itu penuh dengan keterbatasan, kita hanya bisa berusaha dan berdoa sedangkan Tuhanlah yang berhak menentukan. Tentunya supaya doa kita dikabulkan, syarat mutlak adalah rajin beribadah..

Perlu diingat bahwa yang benar-benar ada itu adalah orang yang rajin dengan yang malas, bukan yang pintar dengan yang bodoh, karena kita itu semuanya makhluk yang unggul, coba bayangkan sebelum kita terlahir ke dunia ini kita sudah bersaing dengan berjuta-juta sperma, dan kitalah yang keluar sebagai pemenangnya.

Mungkin masih banyak cara-cara yang lain, tapi semoga cara-cara diatas bisa menghilangkan atau minimal mengurangi rasa malas kita. Tapi semuanya kembali kepada diri kita sendiri karena rasa malas akan terus menghantui kalau kitanya sendiri tidak pernah ada keinginan kuat untuk menghilangkannya. Bagaimana ?

Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

A. Pendahuluan 

Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.

Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata "uh. huh". Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya "keahlian" yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.

Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.

Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai terdengar di kalangan akademis, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang dan tantangan pendidikan multikultural di Indonesia.

B. Perjalanan Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan Multikultural 

Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:

Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.

Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual".

Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".

Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:

- Content integration

mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.

-The Knowledge Construction Process

Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)

-An Equity Paedagogy

Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.

-Prejudice Reduction

Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka

- Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;

1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.

2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.

3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.

4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.

Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.

Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

C. Wacana Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural di Indonesia 

Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.

Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.

Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.

Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.

Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.

Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.

2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.

3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.

4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.

5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

Penutup 

Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.

Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah Swt. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.

Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.

Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan "ini" dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.

Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

A. Pendahuluan 

Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.

Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata "uh. huh". Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya "keahlian" yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.

Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.

Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai terdengar di kalangan akademis, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang dan tantangan pendidikan multikultural di Indonesia.

B. Perjalanan Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan Multikultural 

Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:

Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.

Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual".

Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".

Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:

- Content integration

mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.

-The Knowledge Construction Process

Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)

-An Equity Paedagogy

Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.

-Prejudice Reduction

Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka

- Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;

1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.

2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.

3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.

4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.

Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.

Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

C. Wacana Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural di Indonesia 

Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.

Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.

Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.

Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.

Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.

Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.

2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.

3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.

4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.

5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

Penutup 

Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.

Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah Swt. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.

Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.

Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan "ini" dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.