Sejak Edward Said melakukan serangan terhadap orientalisme, studi
kritis tentang sejarah pembentukan Islam menjadi sebuah anatema
(sesuatu yang kurang disukai). Sarjana Muslim yang hendak melakukan
studi kritis terhadap Al-Qur’an, atau Hadis, atau sejarah Nabi
Muhammad, akan ragu, karena mereka khawatir disamakan dengan para
orientalis yang memang memiliki citra sangat buruk di dunia Islam.
Dengan beban psikologis seperti itu, studi kritis terhadap
sumber-sumber Islam klasik tak bisa lagi dilakukan secara bebas. Para
sarjana Islam yang mencoba melakukan kritik terhadap tradisi Islam
klasik merasa perlu terlebih dahulu melakukan “disclaimer” bahwa
mereka bukanlah orientalis dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya
demi kebaikan peradaban Islam, dan bukan karena membela kepentingan
Barat atau orientalisme.
Beban psikologis itu tentu amat menganggu, menguras energi dan waktu.
Alih-alih memfokuskan diri kepada pokok pembahasan, para sarjana
Muslim disibukkan berdebat tentang hal-hal yang sama sekali tidak
pokok. Padahal, kalau mereka langsung masuk ke pangkal permasalahan
tanpa terlalu mempersoalkan darimana sebuah metode ilmu didapat, maka
banyak hal yang bisa dilakukan dengan segera.
Hal itu, tentu saja bukan sama sekali untuk menghilangkan sikap
kritis kita terhadap para orientalis atau orientalisme secara umum.
Namun, berhenti pada pembahasan orientalisme, seperti yang dilakukan
Edward Said, bukanlah pekerjaan yang produktif dan berguna bagi
agenda pembaruan dan pencerahan Islam.
Terlalu banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme.
Studi mereka tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan
bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri
masa-masa awal sejarah Islam. Dengan metodologi dan standar akademi
yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu menggali hal-hal yang
kerap diabaikan kaum Muslim.
Studi mereka tentang sejarah Al-Qur’an misalnya, sangat padat dan
kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka
akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam
mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan
kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kita dapat
melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Al-Qur’an.
Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum Muslim
adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang
bisa ditelusuri dan dibuktikan. Saya pernah mengecek sebagian
sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor
Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah
Al-Qur’an. Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang
mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.
Saya kemudian malah jadi bertanya-tanya, betapa banyak data dalam
sejarah Al-Qur’an yang disembunyikan ulama konservatif. Atau saya
curiga jangan-jangan mereka memang tidak tahu akan wacana yang begitu
kompleks dalam literatur sejarah Al-Qur’an. Padahal,
pandangan-pandangan yang kerap dituduh sebagai “ciptaan orientalis”
sesungguhnya adalah fakta sejarah yang terekam dalam kitab-kitab
mu’tabarah (rujukan).
Misalnya, dalam al-Fihrist karya Ibn Nadiem disebutkan bahwa surah
Al-Fatihah bukanlah bagian dari Al-Qur’an; dalam Al-Itqan karya
Jalaluddin al-Suyuthi disebutkan bahwa surah al-Ahzab semula
berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga kini hanya menjadi
73 ayat; dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi
disebutkan bahwa ada dua surat yang tidak dimasukkan dalam mushaf
Uthmani, yakni surah al-Khul’ dan al-Hafd.
Data-data seperti itu diungkapkan dan didiskusikan secara obyektif
oleh para orientalis, dan kita bisa langsung mengecek dan
membuktikannya dengan merujuk kitab-kitab yang disebutkan. Akses
terhadap kitab-kitab klasik itu kini semakin mudah karena sebagian
besar sudah di-tahqiq dan diterbitkan.
Saya kira sudah saatnya kita kembali lagi kepada karya-karya
orientalis tentang sejarah Al-Qur’an. Karya-karya itu akan menjadi
penuntun yang baik bagi kita untuk mengetahui sejarah Al-Qur’an
secara lebih komprehensif lagi.
Saya berpandangan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan
orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya. Edward Said tak
pernah memberikan sumbangan apa-apa bagi kajian keislaman. Dia hanya
meluapkan kemarahannya kepada apa yang dia sebut sebagai “konspirasi
orientalisme” atau “konspirasi Barat.” Tapi, kemarahan dan
emosi bukanlah sebuah cara yang baik untuk menilai produk
kesarjanaan.
Bismillahirrahmanirrahim...
BalasHapusSalam kenal.. sebuah artikel yang menarik.. namun, kenapa tidak disebutkan sumbernya? seingat saya ini adalah tulisan dari Luthfie Assyaukanie yang dimuat di Jawa Pos sekitar tahun 2005 dan dikumpulkan dengan tulisan-tulisan yang lain di dalam buku Islam Benar versus Islam Salah..
Terima Kasih...
Salam Sukses
Radinal Mukhtar Harahap