DEWASA
ini, banyak orang mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya
mereka mengabaikan sastra. Dalam mengkaji sastra, mereka tidak
seperti kalangan kritikus yang melihat sastra sebagai medium kesenian
yang bernilai pada dirinya sendiri. Karena di mata mereka, sastra
hanyalah suatu teks budaya atau dokumen sosial yang mengandung -di
baliknya atau di luarnya- praktik-praktik penandaan (signifying
practices) yang selalu merupakan hubungan kekuasaan yang timpang.
Dan, sastra dikaji dengan kepentingan menyingkap bekerjanya
kontestasi kuasa dalam setiap praktik penandaan itu.
Dalam
membaca sastra, mereka tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance,
suatu kenikmatan tekstual yang muncul karena kemelimpahan makna dan
eksplorasi bentuk, juga ketakterdugaan metafor dan imaji yang
lazimnya disediakan oleh teks sastra. Karena pembacaan mereka
terhadap sastra selalu bersifat "politis", bukan dalam arti
kuno seperti dislogankan Lekra, yakni mengabdikan sastra untuk partai
atau menjadikan politik sebagai panglima, melainkan dalam arti
melihat karya sastra sebagai representasi sosial. Dalam representasi,
selalu ada suara dominan dan suara tertekan. Agenda politik di sini
berarti melucuti suara dominan dan memberdayakan suara tertekan.
Dalam
pandangan mereka, sastra sebagai dokumen sosial bahkan tidak lebih
tinggi atau lebih penting dari dokumen sosial lain, semisal praktik
hidup sehari-hari (everyday practices) yang ditawarkan oleh budaya
massa dan budaya media. Apa yang disebut nilai-nilai keindahan yang
menjadikan teks sastra selama ini diletakkan dalam posisi ‘high
culture’ ternyata hanyalah suatu konstruksi sosial, bukan sesuatu
yang alamiah. Posisinya yang adiluhung dalam budaya adalah hasil
pemaksaan selera dan cita rasa kelas sosial tertentu yang dominan.
Mungkin persisnya bukan pemaksaan, melainkan hegemoni. Pemaksaannya
tidak berlangsung dengan kekerasan melainkan dengan bujukan dan
kesukarelaan, yang ditutup-tutupi atau dilupakan sehingga selera dan
cita rasa kelas tertentu itu seolah-olah merupakan nilai universal
yang bernama keindahan. Jadi teks sastra sejatinya sama nilainya
dengan karya pop, tajuk rencana Kompas, jingle iklan, lirik lagu
dangdut atau naskah sinetron Cinta Paulina.
Yang
saya maksud "mereka" dalam dua alinea pertama tulisan ini
adalah para pendukung cultural studies. Di negeri-negeri utara,
cultural studies tak pelak merupakan fenomena penting dan
kontroversial dalam dunia akademis, terutama bidang humanities selama
kurang lebih tiga dekade terakhir. Bukan saja lantaran ia adalah
"gerakan akademis" yang multidisipliner (melibatkan sastra,
sejarah, antropologi, dan filsafat sekaligus), melainkan juga
melampaui dinding disiplin ilmu, bahkan dinding akademis. Pretensinya
bukanlah kajian-kajian yang steril yang selama ini tampak dalam
disiplin akademis yang ada, melainkan kajian yang berwatak
emansipasi, yakni berpihak kepada yang terpinggirkan dan tak
tersuarakan (the subaltern)-baik dari segi kelas sosial, ras, maupun
gender-dalam kanon resmi suatu kebudayaan.
Dan
karena kanon resmi ditentukan oleh mereka yang borjuis, berkulit
putih, dan laki-laki, berpusat-Barat dan berwatak logosentris, maka
aksentuasi pemihakan terhadap "yang lain" (the other) dalam
cultural studies tercermin dalam kajian yang merayakan difference dan
pluralisme, seperti kajian postkolonial, multikultural, juga kajian
feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna. Nama-nama luar
negeri seperti Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, juga Raymond
Williams dan Michel Foucault, serta nama-nama dalam negeri seperti
Melani Budianta dan Ariel Heryanto merupakan pendukung, atau
setidaknya sering dihubung-hubungkan, dengan cultural studies ini.
Genealogi dan karakteristik
Dalam
bahasa kita, sebutan cultural studies mungkin tidak bisa dengan mudah
diterjemahkan menjadi "kajian-kajian budaya" karena istilah
tersebut mengandung riwayat hidup dan karakteristiknya sendiri yang
khas, yang bisa jadi tidak terangkum ketika diterjemahkan. Ada
baiknya di sini kita lacak genealoginya dan kita usut
karakteristiknya.
Simon
During, dalam pengantar buku The Cultural Studies Reader (1993),
menunjukkan dua jalur genealogi cultural studies. Jalur pertama
adalah mereka yang melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Istilah
hegemoni, kita tahu, berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis
Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara
paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari
pihak yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan
terletak. Kebudayaan bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas
yang mencerminkan identitas kolektif, melainkan alat yang
memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis
jalur ini adalah Raymond Williams, Marxis dari Inggris, ketika ia
mengkritik fenomena terlepasnya "budaya" dari "masyarakat"
dan terpisahnya "budaya tinggi" dari "budaya sebagai
cara hidup sehari-hari". Cultural studies jenis ini lebih
menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni,
resistensi terhadap kuasa "dari atas", dan pembelaan
terhadap subkultur.
Sedangkan
cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari
pemikiran poststrukturalisme Perancis, terutama Michel Foucault,
menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap
kuasa "dari atas" menuju perayaan terhadap kemajemukan
satuan-satuan kecil. Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan
dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics
karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus
masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan merata
dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa
dihadapi dengan semacam micro-politics, yang pernah dirumuskannya
sebagai insurrection of the subjugated knowledges (membangkitkan
pengetahuan-pengetahuan yang tertekan). Pada titik inilah cultural
studies tegak berdiri. Kajian-kajian dengan label multikultural,
postkolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna,
untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan
pengetahuan tertekan itu.
Pemetaan
dua jalur tersebut tentu saja bersifat menyederhanakan karena dalam
praktiknya cultural studies tentu jauh lebih meriah dan beragam.
Tetapi paling tidak, melalui riwayat hidup semacam itu, kita bisa
meraba-raba apa karakteristik yang menonjol pada cultural studies.
Dalam pandangan saya, tiga hal bisa disebut di sini.
Pertama,
penolakan terhadap esensialisme dalam kebudayaan. Melihat kebudayaan
sebagai efek hegemoni dengan sendirinya mengakui proses konstruksi
sosialnya. Budaya tidak terbentuk secara alamiah, given dan menyatu
dengan komunitas tertentu, melainkan selalu dikonstruksikan. Dan
dalam proses konstruksi, pertarungan memperebutkan pemaknaan pun
terjadi. Contoh kajian yang berhasil menolak esensialisme ini adalah
buku Orientalism Edward Said yang dengan meyakinkan menunjukkan bahwa
identitas Timur yang eksotis dan irasional ternyata bukanlah esensi
melainkan konstruksi dan representasi Barat.
Selain
merupakan konstruksi sosial, budaya juga selalu bersifat hibrida.
Tidak ada yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada
yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses
negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh para pelaku
kebudayaan itu sebagai respons terhadap kondisi kekiniannya. Dengan
demikian, sebutan "Jawa", "Islam" atau "Barat"
selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks mereka yang juga
kompleks dan majemuk.
Kedua,
penghargaan terhadap budaya sehari-hari, terutama budaya pop dan
media. Cultural studies tidak sekadar mendekonstruksi kanon dalam
budaya dan melumerkan pemisahan antara "budaya tinggi" dan
"budaya massa", tetapi juga menyambut dan merayakan budaya
massa ini. Mereka menolak pendapat yang melihat budaya massa
semata-mata sebagai komoditas kapitalisme yang selalu berdampak
homogenisasi, pengulangan, dan penyeragaman. Karena dalam praktiknya,
orang menerima dan menggunakan budaya massa tidak dengan sikap pasif,
melainkan aktif memaknainya dengan kepentingan dan tujuan yang
berbeda-beda. Penjual Warung Tegal menonton telenovela Amerika Latin
di televisi sekadar untuk selingan sembari melayani pembeli, ibu-ibu
rumah tangga menontonnya untuk bahan obrolan di pasar atau di meja
makan, dan penyair melihatnya untuk cari inspirasi atau bahan guyon.
Penerimaan mereka terhadap budaya massa tidak dengan sendirinya
membuat mereka terkooptasi atau teralienasi. Dengan kata lain,
konsumen selalu punya kebebasan dalam proses negosiasi untuk memaknai
(decoding) citraan budaya massa, dengan cara memiuhkannya dari maksud
sang pemilik modal atau menjadikannya sebagai kesenangan belaka.
Sesungguhnya,
naiknya pamor budaya sehari-hari di mata cultural studies ini tidak
bisa dilepaskan dari semakin mendunianya gaya hidup yang dijajakan
media massa yang sekaligus mengubah nilai yang ada di dalamnya.
Konsumerisme, misalnya, yang dulunya dikecam karena tidak berangkat
dari kebutuhan riil sang konsumen tetapi berdasar kebutuhan yang
diciptakan oleh citra media kini justru merupakan simbol dan ekspresi
menjadi manusia kontemporer.
Dalam
konteks mendunianya budaya media yang ditopang dengan pasar global
inilah cultural studies yang semula bertumbuh di dunia akademi Barat
kini juga merambah ke seluruh dunia.
Ketiga,
kuatnya sikap politis. Cultural studies, baik dari jalur Gramsci
maupun Foucault, adalah suatu agenda politik dalam dunia akademi.
Perhatian mereka adalah penelanjangan terhadap hubungan kuasa yang
timpang dalam kebudayaan, melalui pembacaan terhadap pelbagai dokumen
sosial. Dan seperti saya sebutkan di awal tulisan, kalaupun toh
mereka mengkaji karya sastra, mereka lebih tertarik pada yang di luar
sastra ketimbang sastra itu sendiri, pada konteks ketimbang teks.
Lebih peka
Lalu,
bagaimana kita menanggapi cultural studies ini? Saya kira, sikap anti
esensialisme dan penghargaan kepada praktik budaya sehari-hari yang
menjadi ciri cultural studies layaklah dicatat sebagai sumbangan
pemikiran yang sangat berharga bagi kita . Setidaknya, kita tidak
lagi melihat kebudayaan dengan kaca mata antropologi lama yang
memakai dikotomi budaya maju/primitif, atau mematok kebudayaan dalam
satu karakter tunggal yang ajek (misalnya, "budaya Jawa adalah
harmoni", "Barat berdasar rasio, Timur pakai rasa").
Kita juga dibuat lebih peka dan apresiatif terhadap praktik-praktik
penandaan (signifying practices) dari budaya massa yang menyerbu kita
setiap hari.
Hanya
saja, sikap politik yang kental dalam cultural studies bisa
menimbulkan problem tersendiri, terutama bila menyangkut pembacaan
mereka terhadap karya sastra. Harus diakui, langkah mereka
mendekonstruksi kanon budaya (yang memusat pada kulit putih, borjuis
dan laki-laki) menyemaikan karnaval multikulturalisme yang beragam
suaranya dan setara posisinya. Meskipun dalam kenyataan hal ini belum
sepenuhnya tercapai, tetapi ada pengakuan yang semakin luas bahwa
karnaval semacam itu adalah suatu kebajikan. Mereka juga berhasil
menempatkan yang bukan kulit putih, bukan laki-laki dan bukan borjuis
tidak lagi berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan
dan tidak punya suara sendiri. The subaltern kini punya hak dan
kemampuan untuk merepresentasikan dirinya sendiri.
Demikianlah,
maka di Indonesia, sastra kiri dan sastra peranakan yang selama ini
dibungkam dan tidak terangkum dalam kanon resmi sastra Indonesia
menjadi penting untuk ditampilkan.
Namun,
watak politis ini sering dilantunkan dengan sikap yang kelewat serius
dan heroik sehingga mereka mengutamakan PC (political correctness)
dalam melihat karya. Apa yang dianggap berharga dalam suatu karya
bukanlah kualitas literernya melainkan "kebenaran politik"-nya.
Pertimbangannya lebih pada pesan politik ketimbang eksplorasi
literer, lebih pada "isi" ketimbang "bentuk",
kalau dikotomi "isi-bentuk" masih mau dipakai di sini.
Repotnya,
ini bisa menjadi semacam dalih bagi karya sastra yang sebenarnya
gagal secara sastra, tetapi karena melantunkan politik (sering secara
verbal), memekikkan pemihakan terhadap suara pinggiran atau
menampilkan suara kaum pinggiran itu sendiri, ia seakan
terselamatkan. Hanya karena suatu karya ditulis oleh buruh,
perempuan, gay dan lesbian, atau kulit hitam, maka ia dianggap
berharga. Penelitian Melani Budianta tentang sastra pinggiran dua
tahun lalu adalah sumber rujukan yang baik bagaimana label
"pinggiran" bisa menjadi perlindungan bagi karya sastra
yang buruk.
Selain
itu, PC juga bisa terjebak menjadi rezim kebenaran baru, meskipun
pada mulanya ia membongkar rezim kebenaran yang dominan. Ini bisa
terjadi manakala karya sastra dibebani semacam moralitas politik yang
didatangkan dari luar sastra. Jadinya orang akan berpikir sekian kali
kalau mau menampilkan karya yang mengritik, memparodikan,
bermain-main atau menghumorkan the subaltern, karena takut
jangan-jangan itu menyinggung mereka. Jangan-jangan tidak "benar
secara politik".
Inilah
yang menjelaskan kenapa kalangan cultural studies mengkaji dan
membaca sastra, tetapi sesungguhnya mengabaikan sastra. Mereka
bersikap demikian karena, disadari atau tidak, mereka tidak peduli
pada estetika. Bukankah mereka berpendapat bahwa keindahan dalam
karya sastra adalah cita rasa dan selera kelas tertentu yang dianggap
sebagai nilai yang "obyektif" dan universal? Dengan kata
lain, suatu konstruksi sosial? Tidak heran kalau bagi mereka, sastra
hanyalah dokumen sosial yang setara dengan ikon-ikon budaya massa.
Tidak aneh dalam menghadapi karya, mereka lebih tertarik pada pesan
politiknya ketimbang sastranya.
Bahwa
keindahan adalah konstruksi sosial dan tidak melekat begitu saja
dalam karya, itu bisa saya terima. Tetapi saya ingin membedakan
keindahan (yang tidak lain ternyata hanyalah konsep tentang
keindahan) dengan pengalaman estetik. Pengalaman estetik inilah yang
sejatinya menyertai kita manakala kita terlibat dalam penciptaan
maupun pembacaan karya. Tetapi apa itu pengalaman estetik?
Wacana tubuh
Terry
Eagleton, Marxis dari Inggris, pernah menyatakan bahwa estetik pada
prinsipnya adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang berbeda
dengan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan sesuatu yang
inderawi (sensuous) yang konkret, bersifat nisbi, terbatas, sementara
dan tak bisa dikendalikan oleh kerangka diskursif. Karena itu, yang
berharga di sini adalah momen-momen pengalaman yang tak bisa diulang
(einmalig) dan penuh ketakterdugaan. Berbeda dengan wacana konseptual
yang dikendalikan oleh gagasan, kebenaran atau tujuan yang bisa
dipatok sebelumnya, wacana tubuh mengimplikasikan suatu proses gerak
yang bernilai pada dirinya sendiri, tanpa memikirkan telos (tujuan)
Kalau boleh mengutip ungkapan Chairil Anwar, wacana tubuh adalah
kesiapan untuk: "Terbang/ Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder
mendarat//--the only possible non-stop flight//Tidak mendapat".
Dengan
wacana tubuh semacam inilah kita menghadapi karya sastra. Kesiapan
untuk "tidak mendapat" menjadikan kita tidak hanya menerima
Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer yang mendedahkan semangat
humanisme, melainkan juga cerpen-cerpen "nonsens" Umar
Kayam, imaji surealis Sepotong Senja untuk Pacarku dari Seno Gumira
Ajidarma, ataupun absurditas dunia Olenka dalam novel Olenka Budi
Darma. Kesediaan untuk berurusan dengan yang sensuous membawa kita
memasuki puisi imaji Sapardi Djoko Damono dan puisi suasana Goenawan
Mohamad, yang bergelut dengan ihwal yang sepele, yang ephemeral, dan
tak menawarkan "guna" dalam hidup, dan sama sekali tidak
mengandung isi politik dan semangat emansipasi.
Saya
menduga, pengalaman estetik inilah yang tersingkir ketika cultural
studies mengkaji dan membaca sastra. Mereka tampaknya lebih memilih
wacana konseptual dalam arti yang dikemukakan Eagleton, sehingga yang
dicari atau dituntut dalam karya adalah gagasan dan keberartian,
dalam hal ini isi politik.
Yang
perlu diperhatikan, kebanyakan mereka tidak begitu tertarik pada
puisi, kecuali puisi sosial politik. Karena dalam puisi, pergulatan
dengan momen-momen estetik dioptimalkan. Dalam puisi, kata-kata
berpaut erat dengan imaji, rima, alusi dan bunyi yang membuatnya
tidak bisa lepas dari kekonkretan pengalaman inderawi. Dalam puisi,
kita berhadapan dengan ketakterdugaan, bukan dengan suatu proyek yang
terencana. Watak puisi semacam inilah yang menjadikannya tidak akrab
dengan cultural studies.
Boleh
jadi, mereka menolak disebut mengabaikan estetika. Karena mereka
merasa tetap mengamalkan laku estetik, tetapi dengan arti baru, yakni
bukan sebagai pengejawantahan wacana tubuh melainkan sebagai ethos
atau etika untuk suatu praksis. Pandangan semacam ini setidaknya
pernah dilontarkan oleh salah satu pendukung cultural studies, Ian
Hunter dalam karyanya Aesthetics and Cultural Studies. Di situ Hunter
menegaskan bahwa estetika haruslah dipandang sebagai etika, dalam
arti "seperangkat teknik dan praktik yang otonom yang
memungkinkan individu melakukan problematisasi pengalamannya secara
terus-menerus". Hanya saja, pendirian Hunter yang menyamakan
laku estetik dengan laku etik ini mengandung cacat serius. Kalau
memang yang ingin ditonjolkan adalah etika untuk suatu praksis,
kenapa harus dengan karya seni atau sastra? Apakah ini tidak termasuk
apa yang dalam filsafat Anglo-Saxon disebut sebagai category mistake
(kesalahan menempatkan kategori)?
Tersingkirnya
estetik dalam cultural studies tak pelak menjadikan cultural studies
terjerumus pada sikap salah urus terhadap kesusastraan. Mereka memang
memecah kebekuan, ketika menyatakan kebudayaan sebagai konstruksi
sosial dan ketika mengapresiasi budaya sehari-hari. Tetapi intensi
pembebasan yang terlalu bersemangat itu telah memiskinkan bacaan
mereka terhadap sastra. Dengan hanya membatasi sastra sebagai dokumen
sosial, mereka sesungguhnya melupakan dimensi lain yang jauh lebih
penting, yakni sastra sebagai dunia imajinasi dengan segala
kesubtilan dan kegilaannya. Padahal itulah sesungguhnya raison d'etre
kesusastraan kapan pun, baik di zaman cultural studies hari ini
maupun zaman Homeros ribuan tahun yang lalu.
Assalamu'alaikum mas...
BalasHapusWa'alaikum salam Wr. Wb. mas Yaqin..
BalasHapus